Kamis, 13 Desember 2018

MUNGKINKAH ZAKAT MENJADI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA???



MUNGKINKAH ZAKAT MENJADI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA???
Oleh :
Siska Dwi Puspitasari
17081194014


Untuk yang pertama sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai apa sih kebijakan fiskal itu??? Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan fiskal ini, diantaranya adalah menurut Wolfson yang dikutip oleh Suparmoko, kebijakan fiskal (fiscal policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumber daya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan (M.Suparmoko,1997:257). Sedangkan menurut Sadono Sukirno kebijakan fiskal adalah langkah - langkah pemerintah untuk mangatasi masalah ekonomi, dengan membuat perubahan dalam sistem pajak atau pembelanjaan (Sadono Sukirno, 2010:170). Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure) (Mustafa Edwin, 2007:203).
Dari pendapat beberapa ahli mengenai kebijakan fiskal dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi dari segi penerimaan ataupun pengeluaran. Kebijakan fiskal ini di lakukan oleh pemerintah melalui Kementrian Keuangan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan fiskal ini adalah menstabilkan perekonomian yang ada dinegara, mencegah timbulnya pengangguran, mempertahankan kestabilan harga dan mensejahterakan rakyat.
Dalam perkembangannya kebijakan fiskal dibagi menjadi 4 macam yakni: (Nuruddin Muhammad Ali, 2006:92)
1. Pembiayaan Fungsional (functional finance)
2. Pengelolaan Anggaran (the managed budget approach)
3. Stabilisasi Anggaran Otomatis (stabilizing budget)
4. Anggaran Belanja Seimbang (balanced budget approach)
Kebijakan fiskal membahas mengenai penerimaan dan pengeluaran pemerintah, adapun penerimaan pemerintah meliputi pajak, retribusi, obligasi, ataupun hutang sedangkan untuk pengeluaran ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan di Pemerintahan Pusat dan ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APDB) yang dilakukan oleh masing-masing daerah.
Tahun 2018 merupakan tahun ke-4 dari pelaksanaan program pembangunan Kabinet Kerja dengan tema kebijakan fiskal yakni “Pemantapan Pengelolaaan Fiskal untuk Mengakselerasi Pertumbuhan yang Berkeadilan”. Tiga strategi fiskal pada tahun 2018:
1.     Mengoptimalkan pendapatan negara dengan tetap menjaga investasi;
2.     Mendukung program prioritas dengan cara mengefisiensikan belanja dan peningkatan      belanja produktif;
3.     Mendorong pembiayaan yang efisien, inovatif, dan berkelanjutan

Pokok-Pokok Kebijakan APBN Tahun 2018

Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/media/6108/postur-apbn2018-02.jpg

Dalam gambar diatas sudah tertera bahwa pendapatan negara sebesar Rp1.894,7 triliun, yang berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun. Sedangkan untuk pengeluaran negara sebesar Rp2.220,7 triliun. Jumlah tersebut meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.454,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp766,2 triliun. Alokasi ke daerah ini ditujukan untuk meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, meningkatkan kualitas dan mengurangi ketimpangan layanan publik antardaerah, serta mendukung upaya percepatan pengentasan kemiskinan di daerah.
Berdasarkan perkiraan pendapatan negara dan rencana belanja negara, maka defisit anggaran pada APBN tahun 2018 diperkirakan mencapai Rp325,9 triliun (2,19 persen PDB). Besaran ini lebih rendah dibandingkan APBN tahun 2017 yakni sebesar 2,67% terhadap PDB. Keseimbangan primer juga turun menjadi negatif Rp87,3 triliun dari tahun 2017 sebesar negatif Rp144,3 triliun. Defisit anggaran tersebut akan ditutup dengan sumber-sumber pembiayaan anggaran yang mengacu pada kebijakan untuk mengendalikan rasio utang terhadap PDB dalam batas aman dan efisiensi pembiayaan anggaran agar tercapai fiscal sustainability. Selain itu, pembiayaan anggaran tahun 2018 juga diarahkan untuk pembiayaan investasi dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas pendidikan, dan UMKM.
Kebijakan fiskal dalam islam, telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Kebijakan fiskal dalam islam ini merupakan kewajiban bagi pemerintah bukan suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi saja melaikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan menciptakan mekanisme pendistribusian ekonomi yang adil. Untuk pola anggaran pendapatan negara hampir sama dengan perekonomian konvensional tapi pengambilan dana didasarkan pada syariat islam.
Dalam islam, semua pendapatan negara harus dikumpulkan telebih dahulu sebelum dibelanjakan. Lembaga pengelolaan keuangan negara baik berupa pendapatan ataupun pengeluaran yaitu Baitul Mal. Di Baitul Mal pendapatan yang telah diterima akan di olah sesuai dengan pendistribusiannya. Yang menjadi sumber pendapatan negara dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1.) Bersumber dari kalangan muslim : zakat, sedekah, wakaf,
2.) Bersumber dari kalangan non-muslim : jizyah, kharaj, dan ushur
3.) Bersumber dari lain-lain : ghanimah, fa’i, uang tebusan, hadiah, pinjaman pemerintah dan bantuan lainnya.
Untuk pengeluaran negara digunakan untuk hal tertentu seperti biaya pertahanan, penyaluran zakat kepada pihak yang berhak menerimanya, pembayaran gaji, upah, utang negara, bantuan untuk musafir, pembebasan budak, pembayaran tunjangan untuk orang miskin, dan masih banyak lagi. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Al-Khathab, dapat dibedakan pendapatan dan pendistribusiannya menjadi 4 bagian, seperti dibawah ini:

Pendapatan Negara
Penyaluran
Zakat
Disalurkan hanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, seperti 8 ashnaf (orang fakir, miskin, amil zakat, para mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang berjalan dijalan Allah dan orang yang sedang dalam perjalanan) seperti yang tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 60
Ghanimah dan sedekah
Digunakan untuk membiayai kesejahteraan fakir miskin dan tidak membedakan orang muslim atau bukan
Kharaj, Fa’i, Jizyah, Ushur dan Sewa Tanah
Digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan dan membiayai administrasi dan lain sebagainya
Pendapatan lain-lain
Disalurkan untuk pemeliharaan anak-anak terlantar, dana sosial, membayar para pekerja.
Sumber : (Adiwarman Karim: 2008, 74)
                Apabila dana dalam Baitul Mal tidak mencukupi untuk membiayai kesejahteraan rakyat pemerintah berhak menarik pajak (daribah) terhadap kaum Muslimin yang maempunyai harta lebih. Pengeluaran harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Muslim dan pemerintah harus adil dalam mendistribusikankannya. Dalam QS. Al-Dhariyat (51): 19 disebutkan, “Dan pada harta-harta mereka ada hak umtuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Sedangkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 219 Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadanya apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah “yang lebih dari keperluan” demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir”. Juga, dalam QS. al-Hashr (59): 7 disebutkan, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Nah, menurut pendapat saya mengenai pembahasan diatas, kebijakan fiskal yang telah dilakukan Indonesia saat ini berbeda dengan kebijakn fiskal yang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Meskipun tujuan dari kebijakan fiskal tersebut hampir sama yakni untuk mensejahterakan masyarakat. Pada zaman Rasulullah kebijakan fiskal masih berdasarkan Al-Qur’an dan hadist dengan cara pendapatanya melalui zakat, sedekah, wakaf, jizyah, kharaj, dan lain-lain. Untuk pendistribusiannya juga berbeda, pada zaman dahulu orang-orang Muslim banyak yang berkecukupan dan untuk mendistribusikannya hanya untuk 8 ashnaf, jadi jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan pemerintah tidak terlalu banyak. Untuk di Indonesia sendiri penerimaan pemerintah berfokus pada penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Untuk pengeluaran atau belanja pemerintah di alokasikan untuk APBN dan APBD.
Untuk saat ini di Indonesia masih belum bisa menerapkan kebijakan fiskal islam, karena keadaan saat ini berbeda dengan keadaan pada zaman Rasulullah. Apabila menerapkan kebijakan fiskal tersebut tidak relevan. Tetapi bisa jadi zakat dapat digunakan sebagai intrumen kebijakan fiskal, mengingat hampir sebagian jumlah penduduk di Indonesia menganut agama Islam. Dan sudah ada banyak badan amil zakat yang beroperasi di Indonesia untuk membantu masyarakat menyalurkan zakatnya. Jadi pendapatan negara tidak hanya berasal dari pajak, tapi juga dari zakat masyarakat. Tetapi untuk membuat Baitul Mal di Indonesia masih belum bisa karena badan amil zakat masih menyebar di beberapa daerah jadi susah untuk mengumpulkan dana. Padahal apabila ada Baitul Mal, sangat membantu pemerintah untuk menampung dan menyalurkan zakat kepada orang yang memang berhak mendapatkannya. Dan ditambah zakat merupakan suatu kewajiban yang harus di bayar sebagai umat muslim.

         
DAFTAR PUSTAKA

M. Suparmoko. 1997. Keuangan Negara dalam Teori dan Prakti. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, h. 257.
Sukorno, Sadono. 2010. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 170
Nasution, Mustafa Edwin. 2003. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: kencana, h. 203.
Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h 74
Ali, Nuruddin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta : RajaGrafindo Persada, h 92.
Fuzan, M. (2017). Kebijakan Fiskal Dalam Perekonomian Islam Di Masa Khalifah Umar Bin Al-Khathab. HUMAN FALAH. Vol. 4(1): 55-56.
Rahmawati, L. (2008). Kebijakan Fiskal dalam Islam. Al-Qānūn. Vol. 11(2) : 437-438.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (KEMENKEU). 2018. APBN2018 [online]. www.kemenkeu.go.id/. Diakses pada 08 Desember 2018





0 komentar:

Posting Komentar