Sabtu, 08 Desember 2018

Peninjauan Ulang Sistem Perpajakan di Indoneisa


Peninjauan Ulang Sistem Perpajakan di Indoneisa
Oleh : Luqman Maulana 17081194060

Prolog
Pada akhir-akhir ini dunia internasional dikejutkan dengan perang dagang yang dilakukan oleh 2 negara adidaya ekonomi yakni AS dengan China. Perang dagang ini dimulai dari tuduhan dari AS serikat kepada China bahwasannya negara tirai bambu tersebut melakukan praktik perdagangan tidak adil kepada negara AS. Dari tuduhan tersebut negara AS yang di pimpin oleh presiden Donald Trump memberlakukan tarif sekitar 50-60 Milyar US dollar atas produk China yang masuk ke negaranya dan menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium dari China (Detik Finance, 2018). Tidak berhenti disitu saja, China membalas tindakan AS dengan menaikkan tarif impor hingga 25% terhadap produk impor AS (Detik Finance 2, 2018). Perang dagang ini rupanya berpengaruh terhadap perekonomian global dimana volume perdagangan dunia akan melambat, selain itu perang dagang juga akan mempengaruhi rantai pasokan global sehingga banyak perusahaan harus menghitung lagi jalur produksi dan distribusi, serta biayanya (Kompas Ekonomi, 2018). Di Indonesia sendiri, perang dagang oleh AS-China dimungkinkan mempengaruhi Ekspor terhadap kedua negara adidaya tersebut. Sedangkan impor dari kedua negara tersebut, terutama dari negara China, dikhawatirkan akan membanjiri Indonesia dengan harga murah sehingga dapat memukul barang-barang produksi dalam negeri (Kompas Nasional, 2018).
Jika kita cermati permasalahan diatas, senjata utama yang digunakan oleh AS-China atas perang dagangnya yakni PAJAK. Didalam perdagangan internasional sendiri pajak (bea impor-ekspor) mempunyai dampak yang signifikan terhadap keberlangsungan perdagangan antar negara. Dari situ pula PAJAK dianggap sebagai senjata yang mematikan jikalau dalam pelaksanaannya bersangkutan secara tidak langsung terhadap keadaan politik suatu negara. lantas, sebegitu mengerikannya kah PAJAK sehingga membuat perang dagang antar negara adidaya ?? lalu bagaimana dengan Indonesia yang pemasukan kas negaranya 80% bergantung terhadap PAJAK ?? bagaimana islam memandang PAJAK tersebut ??
Perpajakan Di Indonesia
            Pajak merupakan salah satu instrumen dari kebijakan fiskal yang diterapkan di Indonesia. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang yang mengatur penerimaan dan pengeluaran sebuah negara. Di Indonesia sendiri kebijakan fiskal bersumber dari pajak, dan penerimaan bukan pajak, serta penerimaan yang berasal pinjaman atau bantuan luar negeri.
Definisi Pajak dalam sistem konvensional Menurut Rochmat Soemitro dalam (Pudyatmoko, 2009) menyatakan bahwa “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Subjek yang dijadikan pungutan pajak di Indonesia disebut Wajib Pajak. Bentuk keikutsertaan para Wajib Pajak didalam kebijakan perpajakan di Indomesia, ditunjukkan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas resmi bagi para Wajib Pajak. Selanjutnya menurut Rani (2018) pajak digolongkan menjadi 2 yakni pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yakni pajak yang dikelola pemerintah pusat melalui Direktur Jendral Pajak Kementerian Keuangan. Sementara itu, pajak daerah merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah tingkat provinsi atau kabupaten/kota melalui Dinas/Badan Pendapatan Daerah setempat.
Dilansir dari (Kementerian Keuangan RI, 2017) macam-macam Penerimaan Pajak dalam perpajakan di Indoensia yakni sebagai berikut :
1.      Pajak Dalam Negeri
2.      Pajak Penghasilan
3.      PPH Migas
4.      PPH Non Migas
5.      Pajak Pertambahan Nilai
6.      Pajak Bumi dan Bangunan
7.      BPHTB
8.      Cukai
9.      Pajak Perdagangan Internasional
10.  Bea Masuk
11.  Bea Keluar
Pajak yang berhasil dikumpulkan oleh Dirjen Pajak dijadikan sebagai salah satu unsur dari pembentukan APBN maupun APBD di negara Indonesia. Jika kita lihat dari keseluruhan total penerimaan negara, hampir 80% APBN bersumber dari pajak (Republika, 2017). Angka yang cukup fantastis bagi negara Indonesia yang notabene mempunyai kekayaan alam yang melimpah yang seharusnya ketergantungan penerimaan negara pada kondisi idealnya ada disana (penerimaan SDA), namun sebaliknya ketergantungan ini terletak pada penerimaan negara berupa pajak.
Bagaimana Islam memandang Pajak ?
Menurut Ali (2018) didalam bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr)  atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah  “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ (Al-Kharaj), namun Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus. Para pemungut pajak disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).
Selanjutnya secara bahasa, pajak adalah suatu pembayaran yang diberikan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan untuk menyelenggarakan jasa untuk kepentingan umum. Menurut Imam Al-Ghazali dalam (Fawaz, 2011) pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan negara serta masyarakat) ketika tidak ada kas didalam baitul mal.
Dari beberapa pengertian diatas,  Anwar (2015) mengklasifikasikan beberapa jenis pungutan (pajak) didalam islam, yakni sebagai berikut :
1.      Jizyah
Jizyah adalah jenis pajak yang dibebankan kepada non muslim atas perlindungannya oleh pemerintahan islam terhadap harta benda, ibadah keagamaan dan untuk bebas dari dinas militer.
2.      Kharaj
Al-Kharaj sering disebut sebagai pajak tanah, yakni pajak yang diperoleh oleh kaum muslim melalui peperangan yang kemudian dikembalian lalu digarap dan dikelola oleh pemiliknya (non muslim). Sebagai bentuk imbalan telah mengelolanya ia (non muslim) diwajibkan membayar pajak kepada pemerintah islam.
3.      Ushr bea cukai
Menurut bahasa, Ushr berarti sepersepuluh, sedangkan menurut istilah ushr berarti pajak yang dikenakan kepada pedagang asing karena telah melewati batas negara islam atau melakukan impor barang ke negeri islam dan pembayarannya dapat berupa uang maupun barang.
Lalu berkaitan dengan hukum penarikan pajak, Tarmizi (2014) mengatakan bahwa para ulama fikih telah membahas hukum menarik pajak selain yang ditetapkan sebelumnya (jizyah, kharaj, dan ushr). Diantara mereka ada yang mengharamkannya secara mutlak, dan sebagian lainnya ada yang membolehkan dengan bersyarat. Perlu diketahui tidak ada diantara mereka yang membolehkan mutlak tanpa syarat syarat khusus yang harus dipenuhi.
Tarmizi (2014) melanjutkan, beberapa pendapat ulama yang mengharamkan pajak diantaranya  yakni Al-Mawardi, Abu Ya’la.
Dalil yang digunakan untuk mengharamkannya yakni :
-          “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”. ( An Nisaa: 29).
“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain”. (HR. bukhari Muslim).
-          Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak
-          Hadist –Hadits yang mengharamkan mukus :
-          Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian yang dibolehkan. Bahkan nabi dalam keadaan genting saat akan perang tidak menarik pajak, beliau lebih memilih cara berhutang kepada shahabat yang kaya dan menarik zakat sebelum jatuh tempo serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan untuk menghadang musuh.
-          Kaidah fiqih :
Sadd zariah. Andai hal ini dibuka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam. Dan juga tidak pernah diterapkan para shahabat nabi.
Tanggapan Dalil :
-          Ayat dan hadits yang mengharamkan mengambil harta orang lain tanp mempunyai hak tidak menafikkan adanya kewajiban dalam pemberian harta kepada kerabat dan fakir miskin. Selain itu pajak yang ditarik untuk kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu
-          Hadits yang mengharamkan mukus, yakni mukus yang bermakna zalim, sedangkan pajak yang ditarik atas kebutuhan suatu negara maka bukan suatu kezaliman
-          Dalil sadd zariah bisa diatasi dengan ketentuan penarikan pajak yang diperbolehkan
-          Adapun pendapat yang mengatakan hal ini tidak ada dalam masa sahabat maka ditanggapi oleh Syatibi ” “karena tidak ada kebutuhan di waktu itu, dimana keuangan bait mal cukup membiayai belanja negara”. Itisham 2/121.
Beberapa Dalil yang memperbolehkannya yakni :
Ø  Ayat-ayat tentang kewajiban berjihad difa’ dan thalab. Diantaranya firman Allah :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”
Ø  Kaidah “ Almaslahat, yakni :
“Mendatangkan kemaslahatan dan menolak mudharat”. Andai tidak ada pajak maka negara tidak bisa berjalan dan mudharat yang terjadi oleh negara tersebut sangat besar, maka mudharat tersebut ditolak dengan menerapkan mudharat yang lebih kecil yakni pajak.
Ø  Qiyas, dengan menggunakan analogi kepada kasus dimana wali dari seorang anak kecil dapat mengambil harta nya untuk kepentingan mereka.
Ø  Dalil Hajah. Meningkatnya kebutuhan negara dari masa ke masa sebagaimna yang diungkapkan oleh Al Juwaini dan Al Ghazali. Juga dijelaskan dalam kaidah“Suatu kebutuhan bisa saja disamakan dengan darurat jika dibutuhkan oleh masyarakat umum”.
Dari beberapa dalil diatas, Pendapat Yang Membolehkan Dengan Syarat yakni para Ulama seperti Al-Juwani, Syatibi, para ulama andalusia, serta para ulama mazhab hanafi dan Ibnu Taimiyyah membolehkan penarikan dengan syarat :
1.      Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak seperti menghadapi musuh ketika hendak menyerang. Ulama Ibnu Abidin berkata “Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya”
2.      Pemasukan negara dari jizyah , kharaj dll tidak mencukupi pokok negara atau dengan kata lain kas baitul mall (kas negara) kosong.
3.      Bermusyawarah dengan ahlu walaqdi (ulama yang berkompeten dibidangnya).
4.      Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pajak kepada orang kaya dan mampu. Al Haitimi mengatakan “Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab yang mampu, yaitu orang yang memilliki kelebihan harta setelah dikelaurkan kebutuhan pokoknya”. Tuhfah  9/220
5.      Pendistribusian pajak hanya untuk kepentingan yang telah ditujukan dan tidak boleh untuk hal yang sifatnya mewah
6.      Masih ada kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Sehingga penarikan pajak bersifat Sementara.
Lantas bagaimana tinjauan sistem perpajakan di Indonesia saat ini?
Penulis mempunyai beberapa opini terhadap keberadaan perpajakan di Indonesia, yang akan dipaparkan didalam beberapa point diantaranya :
1.      Negara Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi sehingga penerapan syariat islam belum terealisasikan sepenuhnya, sehingga penulis menilai bahwa sistem perpajakan saat ini masih belum sesuai dengan kaidah hukum islam.
2.      Ketidaksesuaian perpajakan di Indonesia terletak pada sistemnya dimana pungutan pajak dibebankan kepada barang dagangan oleh rakyat kecil sehingga secara tidak langsung akan membebani kehidupan mereka.
3.      Karena penghasilan APBN sebuah negara 80% dari pajak, maka bisa dipastikan bahwa hasil pajak saat ini masihlah belum digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan premier saja melainkan juga kebutuhan sekunder. Padahal para ulama menetapkan bahwasannya diperbolehkannya pajak hanya pada kondisi darurat (kebutuhan premier) saja.
4.      Pungutan pajak pada hari ini dilakukan secara terus menerus dan tidak terbatas. Padahal jikalau kas negara sudah terpenuhi (artinya tidak ada kebutuhan mendesak) maka pajak tidak boleh lagi di pungut kepada rakyatnya.
5.      Penulis menilai pungutan berupa pajak di negara Indonesia yang begitu masif dilakukan tidak sebanding dengan pungutan berupa zakat yang notabene merupakan syariat islam yang harus ditegakkan.
6.      Karena masih terdapat banyak kekurangan di dalam sistem perpajakan negara Republik Indonesia, maka penulis menyarankan pemerintah Republik Indonesia meninjau ulang sistem perpajakan agar sesuai dengan kaidah hukum islam.
7.      Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah namun pemerintah belum secara optimal mengelolanya. Hal ini dapat terlihat bagaimana pihak swasta atau asing masih menguasai aset-aset pertambangan atau alam di Indoneisa. Padahal pemerintah hal ini sebagai ulil amri mempunyai wewenang mutlak untuk mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan negara Indonesia. Jikalau kekayaan alam di Indonesia dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah maka hal tersebut dapat menjadi sumber pendapatan yang besar bagi negara Indonesia.
Kesimpulan
Meskipun didalam penetapan hukum perpajakan oleh beberapa ulama masih terdapat khilafiyah didalamnya, hal yang perlu ditekankan yakni tidak ada ulama yang membolehkannya secara mutlak tanpa syarat. Sehingga penulis menilai bahwasannya pemerintah Negara Republik Indonesia perlu meninjau ulang sistem perpajakan di Indonesia agar sesuai dengan ketentuan hukum islam.
Indonesia adalah negara yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah. Namun, nyatanya beberapa aset penting berupa kekayaan alam negara masih dikuasai asing. Padahal jikalau pemerintah dapat menguasai kekayaan alam tersebut dan mengeksploitasinya kemudian hasil daripadanya dijadikan pemasukan pada kas negara Indonesia, maka kekayaan alam di Indonesia bisa menjadi sumber utama pemasukan kas negara Indonesia.


Daftar Pustaka :
Ali, Abu Ibrahim Muhammad. (2018), “Pajak Dalam Islam” http://almanhaj.or.id/2437-pajak-dalam-islam.html (diakses 7 desember 2018)
Anwar, Muhammad. 2015. Konsep Pajak Dalam Pandangan Intelektual Muslim [Skripsi]. Makasar (ID) : Universitas Hasanuddin
Detik Finance 2. (2018), “China akan Kenakan Tarif Impor Kacang hingga Anggur AS” https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3932755/china-akan-kenakan-tarif-impor-kacang-hingga-anggur-as (diakses 7 desember 2018)
Detik Finance. (2018), “trump patok tarif impor produk china.” https://finance.detik. com/ berita-ekonomi-bisnis/d-3932512/trump-patok-tarif-impor-produk-china (diakses 7 desember 2018)
Fawaz, Muhammad Wasitho Abu. (2018), “HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin Menyikapinya?” https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html (diakses 7 desember 2018)
Kementerian keuangan RI, “Nota Keuangan dan APBN 2017”, http://www.kemenkeu.go.id/Data/nota-keuangan-rapbn-tahun-2017 (diakses 7 desember 2018).
Kompas Ekonomi. (2018), “WTO: Perang Dagang AS-China Berdampak Sangat Buruk” https://ekonomi.kompas.com/ read/ 2018/04/01/120000026/wto--perang-dagang-as-china-berdampak-sangat-buruk (diakses 7 desember 2018)
Kompas Nasional. (2018), “Wapres: Perang Dagang AS-China Bisa Berimplikasi ke Indonesia” https://nasional.kompas.com/ read/2018/03/27/19383031/wapres-perang-dagang-as-china-bisa-berimplikasi-ke-indonesia (diakses 7 desember 2018)
Pudyatmoko, Y. Sri. 2009. Pengantar Hukum Pajak. ANDI: Yogyakarta.
Rani, Rezita., “Macam-Macam Pajak di Indoensia yang Perlu Anda Ketahui” https://www.online-pajak.com/macam-macam-pajak (diakses 7 desember 2018)
Republika. (2018), “80 Persen APBN Bersumber dari Pajak” https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/17/04/27/op1s77383-80-persen-apbn-bersumber-dari-pajak (diakses 7 desember 2018)
Tarmizi, Erwandi. (2014), “Pembahasan Pajak” https:// http://erwanditarmizi.com/blog/2014/04/19/pembahasan-pajak/ (diakses 8 desember 2018)


0 komentar:

Posting Komentar