Minggu, 09 Desember 2018

Zakat vs Pajak: Zakat sebagai pengganti Pajak, bolehkah ?


Zakat vs Pajak: Bisakah Zakat sebagai pengganti Pajak ?
oleh : Vira Oktaviani Rezqy
17081194042
17 Ekonomi Islam B

           
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memberlakukan Kebijakan fiskal dalam mengatur kondisi perekonomiannya. Kebijakan ini lebih menekankan pada pengaturan penyaluran pendapatan dan belanja Negara. Adapun instrumen yang digunakkan untuk mengatur penyaluran pendapatan Negara berupa pajak yang telah menjadi kewajiban yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
Dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, tentu saja mayoritas penduduknya memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan sekaligus membayar zakat yang telah diwajibkan bagi seorang muslim. Bagi seorang muslim, zakat memiliki kedudukan yang sangat penting. Pertama, zakat dapat mendorong manusia untuk bekerja sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan menunaikan kewajiban berzakat sebagai bukti pelaksanaan rukun iman. Kedua, zakat merupakan bentuk realisasi interaksi manusia dengan masyarakat sekitar.
Zakat memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian negara, yaitu berpotensi untuk menuntaskan kemiskinan yang ada di Indonesia,  mengatasi persoalan perekonomian maupun sosial, dana zakat pun dapat dipergunakan untuk pengerahan sektor riil, seperti pemodalan pada UMKM yang dapat membuka lowongan pekerjaan baru dan mengurangi pengangguran.
Banyaknya penduduk muslim di Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dalam penarikan zakat. Seperti yang dilansir dari Republika.co.id, Sekjen Bimas Islam Kemenag RI Tarmizi Tohor mengatakan “berdasarkan penelitian data terdahulu potensi zakat nasional mencapai Rp.217 Triliun. Namun, yang baru terkumpul hanya 0,2 persen atau Rp.6 Triliun per tahun, Artinya masih ada sebesar 98% potensi zakat nasional belum dibayarkan, padahal UU Nomor 23 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tentang Pengelolaan Zakat telah diatur tentang kepatuhan syariah sehingga ini harus ditingkatkan lagi.” Sangat disayangkan, ketika zakat dapat memiliki potensi untuk mensejahterakan perekonomian Negara, tetapi masih banyak masyarakat yang belum menunaikan kewajibannya. Bukan hanya mengenai zakat saja, tetapi terdapat penunggakan dalam pembayaran pajak.
 Di lansir dari m.liputan6.com, berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terdapat 2.961 wajib pajak tercatat melakukan penunggakan pajak sepanjang 2006-2017. Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan bahwa “terdapat 2.961 wajib pajak yang melakukan tunggakan. Hingga saat ini, sebanyak 2.393 sudah ditanggapi DJP dengan total tunggakan Rp. 25,9 Triliun”. Penunggakan pembayaran pajak ini dapat menghambat perkembangan perekonomian Negara. Dapat dilihat bahwa dari kedua kasus tersebut, bahwa kesalahan terdapat pada individu-individu yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang Warga Negara dan Seorang Muslim.
Sedangkan, pada awal masa pemerintahan islam, zakat dan pajak dapat berjalan secara beriringan. Zakat dikumpulkan dalam bentuk uang tunai, hasil peternakan, dan hasil pertanian. Dan terdapat beberapa jenis pajak yang diberlakukan seperti kharaj atau pajak terhadap tanah, jizyah (pajak perlindungan), dan usyur (pajak perdagangan). Pada masa sekarang ini, Negara dengan mayoritas penduduk muslim telah berusaha dalam mengatur kedua instrumen pendapatan Negara tersebut secara berdampingan dengan mengeluarkan regulasi untuk mengaturnya.
Menariknya Negara tetangga seperti Malaysia telah meresmikan Departemen Zakat dan Haji (JAWHAR) yang bernaung di bawah Departemen Perdana Menteri pada tahun 2004. Malaysia telah menetapkan regulasi yang berlaku bahwa zakat dapat mengurangi kewajiban pajak. Hal itu berlaku apabila muzakki membayarkan zakatnya ke Lembaga zakat yang diakui oleh kerajaan, seperti Pusat Pungutan Zakat (PPZ). Data yang diambil dari website Pusat Pungutan Zakat Malaysia (www.zakat.com diakses pada 9 desember 2018) bahwa selama tahun 2012-2015 dengan adanya regulasi zakat mengurangi pajak, perolehan zakat di malaysia terus meningkat. Pada tahun 2012 perolehan zakat dari 114,442 pembayar zakat sebesar RM 402,813,639.88, sedangkan pada tahun 2015 pembayaran meningkat dengan total RM 557,643,738.18 dari 166,787 pembayar zakat.

Gambar 1. Data pembayaran Zakat di Malaysia tahun 2012
Sumber : Pusat Pungutan Zakat Malaysia (www.zakat.com)


Gambar 2. Data pembayaran Zakat tahun 2015



Gambar 3. Data pembayar Zakat di Malaysia tahun 2015.

Indonesia memiliki sistem pengelolaan zakat yang masih belum maksimal, tetapi pemerintah sedang bergegas untuk memaksimalkan pengelolaan zakat agar perekonomian Negara dapat tumbuh secara berkala. salah satu bukti pemerintah telah berperan andil dalam mewujudkan pengelolaan zakat adalah telah ditetapkannya UU No.38/1999 yang menyebutkan bahwa zakat yang diterima BAZ tidak termasuk sebagai objek pajak, dan zakat berperan hanya sebagai inseftif fiskal bagi pembayar pajak. Dirjen Pajak juga mengeluarkan Keputusan No. KEP-163/PJ/2003 mengenai pemberlakukan sistem tax deducation, yaitu zakat yang dibayarkan dapat mengurangi pajak. Dalam peraturan pemerintah Nomor 571 dan UU Pajak nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan memungkinkan adanya pemotongan pajak penghasilan bagi mereka yang membayar pajak. Sayangnya sistem tax deducation ini hanya berlaku untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Dengan kata lain, bahwa zakat atas penghasilan dapat dikurangi atas penghasilan netto.
Di lansir dari www.neraca.co.id Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pada pembukaan 2nd Annual Islamic Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, bahwa "ekonomi berbasis islami dan keuangan syariah, akan terus berkontribusi terhadap pembangunan nasional." Menariknya, beliau menginginkan agar zakat dapat dikelola seperti pajak yang sama-sama adanya pembayaran dan tidak mengharapkan itu kembali dalam rangka pembangunan nasional. Pernyataan beliau sehubungan dengan dikeluarkannya peraturan Direktorat jendral (Dirjen) pajak RI Nomor Per-11/PJ/2017. Peraturan tersebut terkait dengan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak selama pajak tersebut dibayarkan ke Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah pemerintah tetapkan. Hal ini bertujuan agar penduduk muslim tetap menyalurkan harta mereka untuk kepentingan Negara dan dapat dikelola untuk mensejahterakan seluruh lapisan warga Negara.
Menurut Uzaifah (2010) di Indonesia, pelaksanaan sistem manajemen zakat belum berjalan secara maksimal dikarenakan beberapa faktor, antara lain : keterbatasan informasi yang belum terdistribusi secara maksimal pada muzakki, mustahiq, maupun amil. Oleh sebab itu, pihak pemerintah telah mengatur pengelolaan zakat dalam UU No.23/2011 tentang Zakat, pengaturan pengelolaan zakat tersebut diharapkan agar masyarakat muslim(muzakki) dapat mengeluarkan zakatnya tanpa ada rasa ragu apabila pendapatannya akan semakin berkurang setelah dipotong pajak. Adanya dukungan dari berbagai pihak dan telah diberlakukannya Undang-undang mengenai zakat, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia dapat terus meningkat kualitasnya sehingga dapat berdampak positif pada perekonomian Negara.
Dapat disimpulkan bahwa kurangnya Informasi yang diterima oleh masyarakat, mengakibatkan banyaknya masyarakat yang belum mengetahui bahwa zakat dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003. Untuk saat ini, zakat tidak bisa menjadi pengganti pajak, tetapi hanya bisa dijadikan sebagai insentif fiskal bagi pembayar pajak. Hal tersebut diharapkan agar masyarakat mau menggencarkan membayar zakat dan pajak. Apabila masyarakat Indonesia telah memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dan zakat, maka kesejahteraan perekonomian Negara akan meningkat.

Sumber :
Baderi, firdaus. ( 2017, 25 Agustus). Zakat untuk Pembangunan. (Versi Elektronik). Harian Ekonomi Neraca, Diperoleh pada 8 Desember 2018, dari http://www.neraca.co.id/article/89271/zakat-untuk-pembangunan.
Deny, septian. (2017, 23 Agustus). Sri Mulyani Ingin Zakat Dikelola seperti Pajak. (Versi Elektronik). m.liputan6.com, Diperoleh pada 8 Desember 2018, dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/3068350/sri-mulyani-ingin-zakat-dikelola-seperti-pajak.
Karim, Adiwarman Azwar. 2007. Ekonomi Makro Islam. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada,
Pusat Pungutan Zakat Malaysia. Buku Laporan Pungutan Pajak tahun 2012 dan 2015 (Versi Elektronik). Diperoleh pada 09 Desember 2018, dari:http://www.zakat.com.my/ 
Ridwan, M. 2014. “Zakat vs Pajak: Studi Perbandingan di Beberapa Negara Muslim”. Jurnal ZISWAF. Vol.1(1): hal 124-144.
Saubani, Andri. (2018, 23 Februari). Kemenag: Potensi Zakat Nasional Capai Rp.217 Triliun. (Versi Elektronik). Republika.co.id, Diperoleh pada 13 Desember 2018, dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/02/23/p4m1gs409-kemenag-potensi-zakat-nasional-capai-rp-217-triliun)
Uzaifah. 2010. “manajemen zakat pasca kebijakan pemerintah tentang zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak”. La Riba. Vol.4(1): hal 45-68. Diperoleh pada 08 Desember 2018, dari http://journal.uii.ac.id.

0 komentar:

Posting Komentar