Disusun oleh : Siti Shahriyah / 17081194026
S1 Ekonomi Islam 2017
Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Surabaya
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tingginya tingkat kemiskinan di
Indonesia menjadi PR dan evaluasi bagi pemerintah bangsa ini tentang bagaimana
cara yang efektif untuk menurunkan angka kemiskinan yang ada. Berbagai jenis
kebijakan yang sudah diterapkan seperti kebijakan moneter, fiskal, serta
kebijakan-kebijakan lain nampaknya belum efektif dalam menurunkan angka
kemiskinan di Indonesia. Bisa dilihat dari data yang dihimpun oleh BPS (2005),
dalam kurun waktu 20 tahun antara tahun 1976-1996 tercatat jumlah penduduk
miskin menurun drastis dari 54 juta jiwa atau 40% dari total penduduk di tahun
1976 turun menjadi 22,5 juta jiwa atau kurang lebih 11,3% dari total penduduk
di tahun 1996. Namun, terjadi peningkatan drastis hingga 400% pada tahun 1997
dari 22 juta jiwa menjadi 80 juta jiwa karena adanya puncak krisis ekonomi
tahun 1998.
Selain itu, adanya Gap antara
penduduk miskin dan kaya yang cukup tinggi mendeteksi adanya permasalahan dalam
hal pendistribusian kekayaan ataupun pendapatan di Indonesia. Dengan kata lain,
tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia di akibatkan oleh kurangnya suntikan
dana atau modal terhadap rakyat miskin. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya masyarakat yang unbankable
karena tidak memiliki agunan untuk bisa mendapatkan kredit. Selain itu,
minimnya minat masyarakat dalam berwirausaha juga bisa menjadi salah satu
faktor penyebab statisnya perekonomian Indonesia karena kurangnya lapangan
pekerjaan yang tersedia. Blank (2004) mengungkapkan bahwa ada beberapa aspek
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan seperti lingkungan alamiah, struktur
ekonomi, kelembagaan, serta karakteristik penduduk suatu daerah lokal.
Sedangkan Kuncoro (2003) menyatakan bahwa dari sisi ekonomi, kemiskinan
disebabkan oleh tiga hal, antara lain : adanya perbedaan pola pemilikan sumber
daya yang mengakibatkan timpangnya pendapatan, perbedaan kualitas sumber daya
manusia apabila kualitas SDM rendah maka produktivitas rendah serta upah yang
akan diterima jga rendah, dan yang ketiga adalah perbedaan akses serta modal.
Dalam
Islam, upaya pemberantasan kemiskinan sudah dilembagakan dalam salah satu
rukunnya yaitu zakat (Abdurrachman,2001). Setiap orang muslim meyakini bahwa
zakat merupakan salah satu penyangga tegaknya Islam yang harus ditunaikan
(Muhammad,2007). Dari buku al-mughni karya
Ibnu Qudamah (2007), secara Bahasa zakat berasal dari kata zakat (bersih), namaa (tumbuh dan
berkembang), dan ziadah pengembangan
harta. Sedangkan secara istilah ilmu fiqh, zakat merupakan sejumlah harta
tertentu ( yang telah mencapai nisabnya ) yang diwajibkan Allah diserahkan
kepada orang yang berhak menerimanya (Qardhawi,1995). Zakat juga merupakan
wujud kepedulian sosial Islam terhadap kemaslahatan umatnya. Perintah untuk
berzakat telah diatur dalam surat At-Taubah ayat 103, yang berbunyi :
Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dab nebsycukan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya
dp’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui ( QS. At-Taubah : 103 ).
Siapa sajakah yang berhak menerima
zakat ?
Dalam QS. At-Taubah
ayat 60, yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya zakat
itu hanya untuk orang-orang fakir, miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang,
untuk dijalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana (QS. AT-Taubah : 60).
Dari ayat diatas dapat kita ketahui bahwa zakat hanya
diperuntukkan untuk 8 asnaf atau 8 golongan, yaitu :
1.
Fakir, yaitu orang yang tidak
memiliki harta kekayaan, tidak mampu mencukupi kebutuhan sehar-hari seperti
makan, minum, dan kebutuhan primer lainnya.
2.
Miskin, yaitu orang yang memiliki
harta atau penghasilan namun belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
3.
Pengurus zakat ( amil zakat ),
yaitu orang yang bertugas untuk menghimpun atau mengumpulkan zakat.
4.
Muallaf, yaitu orang yang baru
mengerti agama atau bahkan baru masuk Islam.
5.
Hamba sahaya atau untuk
memerdekakan budak, termasuk juga melepaskan kaum mukmin dari tawanan orang
kafir.
6.
Gharim, yaitu orang-orang yang
terlilit hutang dan tidak sanggup membayarnya.
7.
Fisabilillah, yaitu orang yang
sedang berjuang demi agama Islam, atau berjuang dijalan Allah.
8.
Orang yang sedang dalam perjalanan
dan dalam kesengsaraan.
Bagaimana realisasi peranan
zakat saat ini ?
Di Indonesia
telah terbentuk badan yang bertugas sebagai lembaga penghimpun zakat yaitu
BAZNAS ( Badan Amil Zakat Nasional ) dan LAZNAS ( Lembaga Amil Zakat Nasional ).
Untuk dapat melihat seberapa besar potensi zakat dalam mengentaskan kemiskinan,
kita dapat melihat data berikut :
Tabel 1. Estimasi
Penduduk yang Wajib Berzakat
Tahun
|
Penduduk yang Wajib
Zakat
Maal
|
Total Penduduk
Indonesia
|
2011
|
95,643,555
|
244,808,254
|
2012
|
96,635,791
|
248,037,853
|
2013
|
96,632,204
|
251,268,276
|
2014
|
99,967,101
|
254,454,778
|
2015
|
100,133,823
|
257,563,815
|
Sumber : Statistik Indonesia 2012-2016 (BPS), Penduduk Berdasarkan
Agama
(Kemenag, 2013) World Development Indicator (World Bank, 2016).dalam
al-uqud 2017.
Tabel 2. Potensi
Penerimaan Zakat Indonesia
Tahun
|
Potensi Penerimaan
Zakat
|
2011
|
58,961,143,222,174
|
2012
|
64,086,440,764,997
|
2013
|
69,794,542,095,826
|
2014
|
78,374,957,309,348
|
2015
|
82,609,152,671,724
|
Sumber : Statistik
Indonesia 2012-2016 (BPS),Penduduk BerdasarkanAgama (Kemenag, 2013) dalam
al-uqud, 2017.
Tabel 3. Realisasi
Penerimaan Zakat Indonesia
Tahun
|
Realisasi Penerimaan
Zakat
|
2011
|
32,986,949,797
|
2012
|
40,387,972,149
|
2013
|
50,741,735,215
|
2014
|
69,865,506,671
|
2015
|
74,225,748,204
|
Sumber: Laporan
Penerimaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional 2011-2015 dalam al-uqud, 2017.
Dari beberapa data diatas, dapat
kita bandingkan jumlah potensi penerima dengan realisasi penerima zakat, tidak
sinkron bukan ? disini dapat disimpulkan ada dua permasalahan yang sangat
menonjol, yaitu yang pertama faktor dari kurangnya kesadaran diri setiap
individu untuk berzakat, dan yang kedua adalah bisa saja kurang optimalnya
penyaluran zakat yang dilakukan oleh lembaga terkait.
Indonesia
adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang tersebar di berbagai
penjuru nusantara, di perkotaan dan di desa. Di perkotaan sangatlah banyak
penduduk muslim yang menjadi pengusaha serta di desa-desa banyak pula penduduk
muslim yang mempunyai lahan pertanian luas. Saya rasa, apabila distribusi zakat
dioptimalkan dengan baik dan tepat sasaran, sangatlah berpengaruh dengan adanya
zakat ini terhadap pengentasan kemiskinan. Mengingat zakat tidak hanya zakat fitrah
berupa beras namun juga ada zakat maal yaitu zakat yang dihitung berdasarkan
harta kekayaan yang dimiliki individu muslim. Dengan
adanya zakat, maka akan mempengaruhi pola ataupun tingkat konsumsi mustahik.
Selain itu, adanya penyaluran zakat yang tepat juga akan sangat berpengaruh
terhadap dinamisnya kehidupan ekonomi terhadap pemerataan kemaslahatan umat.
Uang atau barang yang diperoleh mustahik dari zakat dapat dimanfaatkan untuk
berwirausaha, dengan begitu mereka akan menciptakan lapangan pekerjaan dan hal
ini akan mempengaruhi roda perekonomian negara itu sendiri.
Daftar Pustaka
Andriyanto, Irsyad. 2011. “ Strategi Pengelolaan Zakat dalam
Pengentasan Kemiskinan “. Jurnal Walisongo, 19(1).
Blank, “Poverty, Policy and Palce : How Poverty and Policies to
Alleviate Poverty are Shaped by Local Characteristic”, RPRC Working Paper,
2004, pp. 4-12.
Abdurrachman Qadir, Zakat
dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
h.83-84.
Mudrajad Kuncoro, Ekonomi
Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, (Yogyakarta:UPPAMP-YKPN,2003),h.
107.
Yusuf Qardhawi, Kiat Islam
Mengentaskan Kemiskinan, terjemahan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
34.
Ibnu Qudamah, Al Mughni, alih
bahasa ileh Amir Hamzah, (Jakarta:Pustaka Azzam,2007), Cet.3, h. 433.