Zakat vs Pajak:
Bisakah Zakat sebagai pengganti Pajak ?
oleh : Vira
Oktaviani Rezqy
17081194042
Indonesia
merupakan salah satu Negara yang memberlakukan Kebijakan fiskal dalam mengatur kondisi
perekonomiannya. Kebijakan ini lebih menekankan pada pengaturan penyaluran
pendapatan dan belanja Negara. Adapun instrumen yang digunakkan untuk mengatur
penyaluran pendapatan Negara berupa pajak yang telah menjadi kewajiban yang
harus dibayarkan oleh masyarakat.
Dikenal sebagai
negara dengan mayoritas penduduk muslim, tentu saja mayoritas penduduknya
memiliki kewajiban untuk membayar pajak dan sekaligus membayar zakat yang telah
diwajibkan bagi seorang muslim. Bagi seorang muslim, zakat memiliki kedudukan
yang sangat penting. Pertama, zakat dapat mendorong manusia untuk bekerja
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dan menunaikan kewajiban berzakat
sebagai bukti pelaksanaan rukun iman. Kedua, zakat merupakan bentuk realisasi
interaksi manusia dengan masyarakat sekitar.
Zakat memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian negara, yaitu berpotensi untuk menuntaskan kemiskinan yang ada di Indonesia, mengatasi persoalan perekonomian maupun sosial, dana zakat pun dapat dipergunakan untuk pengerahan sektor riil, seperti pemodalan pada UMKM yang dapat membuka lowongan pekerjaan baru dan mengurangi pengangguran.
Zakat memiliki manfaat yang besar bagi perekonomian negara, yaitu berpotensi untuk menuntaskan kemiskinan yang ada di Indonesia, mengatasi persoalan perekonomian maupun sosial, dana zakat pun dapat dipergunakan untuk pengerahan sektor riil, seperti pemodalan pada UMKM yang dapat membuka lowongan pekerjaan baru dan mengurangi pengangguran.
Banyaknya
penduduk muslim di Indonesia merupakan potensi yang sangat besar dalam
penarikan zakat. Seperti yang dilansir dari Republika.co.id, Sekjen Bimas Islam
Kemenag RI Tarmizi Tohor mengatakan “berdasarkan penelitian data terdahulu
potensi zakat nasional mencapai Rp.217 Triliun. Namun, yang baru terkumpul
hanya 0,2 persen atau Rp.6 Triliun per tahun, Artinya masih ada sebesar 98%
potensi zakat nasional belum dibayarkan, padahal UU Nomor 23 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tentang Pengelolaan Zakat telah diatur tentang kepatuhan
syariah sehingga ini harus ditingkatkan lagi.” Sangat disayangkan, ketika zakat
dapat memiliki potensi untuk mensejahterakan perekonomian Negara, tetapi masih
banyak masyarakat yang belum menunaikan kewajibannya. Bukan hanya mengenai
zakat saja, tetapi terdapat penunggakan dalam pembayaran pajak.
Di lansir dari m.liputan6.com, berdasarkan
laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terdapat
2.961 wajib pajak tercatat melakukan penunggakan pajak sepanjang 2006-2017. Kepala
PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan bahwa “terdapat 2.961 wajib pajak yang
melakukan tunggakan. Hingga saat ini, sebanyak 2.393 sudah ditanggapi DJP
dengan total tunggakan Rp. 25,9 Triliun”. Penunggakan pembayaran pajak ini
dapat menghambat perkembangan perekonomian Negara. Dapat dilihat bahwa dari
kedua kasus tersebut, bahwa kesalahan terdapat pada individu-individu yang
tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang Warga Negara dan Seorang Muslim.
Sedangkan, pada
awal masa pemerintahan islam, zakat dan pajak dapat berjalan secara beriringan.
Zakat dikumpulkan dalam bentuk uang tunai, hasil peternakan, dan hasil
pertanian. Dan terdapat beberapa jenis pajak yang diberlakukan seperti kharaj atau pajak
terhadap tanah, jizyah
(pajak perlindungan), dan usyur (pajak
perdagangan). Pada masa sekarang ini, Negara dengan mayoritas penduduk muslim
telah berusaha dalam mengatur kedua instrumen pendapatan Negara tersebut secara
berdampingan dengan mengeluarkan regulasi untuk mengaturnya.
Menariknya
Negara tetangga seperti Malaysia telah meresmikan Departemen Zakat dan Haji
(JAWHAR) yang bernaung di bawah Departemen Perdana Menteri pada tahun 2004.
Malaysia telah menetapkan regulasi yang berlaku bahwa zakat dapat mengurangi
kewajiban pajak. Hal itu berlaku apabila muzakki membayarkan zakatnya ke
Lembaga zakat yang diakui oleh kerajaan, seperti Pusat Pungutan Zakat (PPZ).
Data yang diambil dari website Pusat Pungutan Zakat Malaysia (www.zakat.com diakses pada 9 desember 2018)
bahwa selama tahun 2012-2015 dengan adanya regulasi zakat mengurangi pajak,
perolehan zakat di malaysia terus meningkat. Pada tahun 2012 perolehan zakat
dari 114,442 pembayar zakat sebesar RM 402,813,639.88, sedangkan pada tahun
2015 pembayaran meningkat dengan total RM 557,643,738.18 dari 166,787 pembayar
zakat.
Gambar
1. Data pembayaran Zakat di Malaysia tahun 2012
Sumber
: Pusat Pungutan Zakat Malaysia (www.zakat.com)
Gambar
2. Data pembayaran Zakat tahun 2015
Gambar
3. Data pembayar Zakat di Malaysia tahun 2015.
Indonesia
memiliki sistem pengelolaan zakat yang masih belum maksimal, tetapi pemerintah
sedang bergegas untuk memaksimalkan pengelolaan zakat agar perekonomian Negara dapat
tumbuh secara berkala. salah satu bukti pemerintah telah berperan andil dalam
mewujudkan pengelolaan zakat adalah telah ditetapkannya UU No.38/1999 yang
menyebutkan bahwa zakat yang diterima BAZ tidak termasuk sebagai objek pajak,
dan zakat berperan hanya sebagai inseftif fiskal bagi pembayar pajak. Dirjen
Pajak juga mengeluarkan Keputusan No. KEP-163/PJ/2003 mengenai pemberlakukan
sistem tax
deducation, yaitu zakat yang dibayarkan dapat mengurangi pajak. Dalam
peraturan pemerintah Nomor 571 dan UU Pajak nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan memungkinkan adanya pemotongan pajak penghasilan bagi mereka yang
membayar pajak. Sayangnya sistem tax deducation ini
hanya berlaku untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Dengan kata lain, bahwa
zakat atas penghasilan dapat dikurangi atas penghasilan netto.
Di lansir dari www.neraca.co.id Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menyampaikan pada pembukaan 2nd Annual Islamic
Finance Conference (AIFC) 2017 di Yogyakarta, bahwa "ekonomi berbasis
islami dan keuangan syariah, akan terus berkontribusi terhadap pembangunan
nasional." Menariknya, beliau menginginkan agar zakat dapat dikelola
seperti pajak yang sama-sama adanya pembayaran dan tidak mengharapkan itu
kembali dalam rangka pembangunan nasional. Pernyataan beliau sehubungan dengan
dikeluarkannya peraturan Direktorat jendral (Dirjen) pajak RI Nomor
Per-11/PJ/2017. Peraturan tersebut terkait dengan zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak selama pajak tersebut dibayarkan ke Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang telah pemerintah tetapkan. Hal ini bertujuan agar penduduk muslim
tetap menyalurkan harta mereka untuk kepentingan Negara dan dapat dikelola
untuk mensejahterakan seluruh lapisan warga Negara.
Menurut Uzaifah
(2010) di Indonesia, pelaksanaan sistem manajemen zakat belum berjalan secara
maksimal dikarenakan beberapa faktor, antara lain : keterbatasan informasi yang
belum terdistribusi secara maksimal pada muzakki, mustahiq, maupun amil. Oleh
sebab itu, pihak pemerintah telah mengatur pengelolaan zakat dalam UU
No.23/2011 tentang Zakat, pengaturan pengelolaan zakat tersebut diharapkan agar
masyarakat muslim(muzakki) dapat mengeluarkan zakatnya tanpa ada rasa ragu
apabila pendapatannya akan semakin berkurang setelah dipotong pajak. Adanya
dukungan dari berbagai pihak dan telah diberlakukannya Undang-undang mengenai
zakat, diharapkan pengelolaan zakat di Indonesia dapat terus meningkat
kualitasnya sehingga dapat berdampak positif pada perekonomian Negara.
Dapat
disimpulkan bahwa kurangnya Informasi yang
diterima oleh masyarakat, mengakibatkan banyaknya masyarakat yang belum
mengetahui bahwa zakat dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak sesuai
dengan ketentuan Dirjen Pajak No. KEP-163/PJ/2003. Untuk saat ini, zakat tidak bisa menjadi pengganti pajak, tetapi hanya bisa dijadikan sebagai insentif
fiskal bagi pembayar pajak. Hal tersebut diharapkan agar masyarakat mau
menggencarkan membayar zakat dan pajak. Apabila masyarakat Indonesia telah
memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dan zakat, maka kesejahteraan
perekonomian Negara akan meningkat.
Sumber :
Baderi, firdaus. ( 2017, 25
Agustus). Zakat untuk Pembangunan. (Versi Elektronik). Harian Ekonomi Neraca,
Diperoleh pada 8 Desember 2018, dari
http://www.neraca.co.id/article/89271/zakat-untuk-pembangunan.
Deny, septian. (2017, 23
Agustus). Sri Mulyani Ingin Zakat Dikelola seperti Pajak. (Versi Elektronik). m.liputan6.com,
Diperoleh pada 8 Desember 2018, dari
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3068350/sri-mulyani-ingin-zakat-dikelola-seperti-pajak.
Karim, Adiwarman Azwar. 2007.
Ekonomi Makro Islam. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada,
Pusat Pungutan Zakat Malaysia. Buku
Laporan Pungutan Pajak tahun 2012 dan 2015 (Versi Elektronik). Diperoleh
pada 09 Desember 2018, dari:http://www.zakat.com.my/
Ridwan, M. 2014. “Zakat vs
Pajak: Studi Perbandingan di Beberapa Negara Muslim”. Jurnal ZISWAF. Vol.1(1):
hal 124-144.
Saubani, Andri. (2018, 23
Februari). Kemenag: Potensi Zakat Nasional Capai Rp.217 Triliun. (Versi
Elektronik). Republika.co.id, Diperoleh
pada 13 Desember 2018, dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/02/23/p4m1gs409-kemenag-potensi-zakat-nasional-capai-rp-217-triliun)
Uzaifah. 2010.
“manajemen zakat pasca kebijakan pemerintah tentang zakat sebagai pengurang
penghasilan kena pajak”. La Riba. Vol.4(1): hal 45-68. Diperoleh pada 08
Desember 2018, dari http://journal.uii.ac.id.
0 komentar:
Posting Komentar