Peninjauan
Ulang Sistem Perpajakan di Indoneisa
Oleh
: Luqman Maulana 17081194060
Prolog
Pada
akhir-akhir ini dunia internasional dikejutkan dengan perang dagang yang
dilakukan oleh 2 negara adidaya ekonomi yakni AS dengan China. Perang dagang
ini dimulai dari tuduhan dari AS serikat kepada China bahwasannya negara tirai
bambu tersebut melakukan praktik perdagangan tidak adil kepada negara AS. Dari
tuduhan tersebut negara AS yang di pimpin oleh presiden Donald Trump
memberlakukan tarif sekitar 50-60 Milyar US dollar atas produk China yang masuk
ke negaranya dan menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk
aluminium dari China (Detik Finance, 2018).
Tidak berhenti disitu saja, China membalas tindakan AS dengan menaikkan tarif
impor hingga 25% terhadap produk impor AS (Detik Finance
2, 2018).
Perang dagang ini rupanya berpengaruh terhadap perekonomian global dimana
volume perdagangan dunia akan melambat, selain itu perang dagang juga akan
mempengaruhi rantai pasokan global sehingga banyak perusahaan harus menghitung
lagi jalur produksi dan distribusi, serta biayanya (Kompas Ekonomi, 2018). Di Indonesia
sendiri, perang dagang oleh AS-China dimungkinkan mempengaruhi Ekspor terhadap
kedua negara adidaya tersebut. Sedangkan impor dari kedua negara tersebut,
terutama dari negara China, dikhawatirkan akan membanjiri Indonesia dengan
harga murah sehingga dapat memukul barang-barang produksi dalam negeri (Kompas Nasional, 2018).
Jika
kita cermati permasalahan diatas, senjata utama yang digunakan oleh AS-China
atas perang dagangnya yakni PAJAK. Didalam perdagangan internasional sendiri
pajak (bea impor-ekspor) mempunyai dampak yang signifikan terhadap
keberlangsungan perdagangan antar negara. Dari situ pula PAJAK dianggap sebagai
senjata yang mematikan jikalau dalam pelaksanaannya bersangkutan secara tidak
langsung terhadap keadaan politik suatu negara. lantas, sebegitu mengerikannya
kah PAJAK sehingga membuat perang dagang antar negara adidaya ?? lalu bagaimana
dengan Indonesia yang pemasukan kas negaranya 80% bergantung terhadap PAJAK ??
bagaimana islam memandang PAJAK tersebut ??
Perpajakan
Di Indonesia
Pajak merupakan salah satu instrumen dari kebijakan
fiskal yang diterapkan di Indonesia. Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan
kebijakan yang yang mengatur penerimaan dan pengeluaran sebuah negara. Di
Indonesia sendiri kebijakan fiskal bersumber dari pajak, dan penerimaan bukan
pajak, serta penerimaan yang berasal pinjaman atau bantuan luar negeri.
Definisi
Pajak dalam sistem konvensional Menurut Rochmat Soemitro dalam (Pudyatmoko,
2009) menyatakan bahwa “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
Undang-Undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”. Subjek yang dijadikan pungutan pajak di Indonesia
disebut Wajib Pajak. Bentuk keikutsertaan para Wajib Pajak didalam kebijakan
perpajakan di Indomesia, ditunjukkan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
sebagai identitas resmi bagi para Wajib Pajak. Selanjutnya menurut Rani (2018)
pajak digolongkan menjadi 2 yakni pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat
yakni pajak yang dikelola pemerintah pusat melalui Direktur Jendral Pajak
Kementerian Keuangan. Sementara itu, pajak daerah merupakan pajak yang dikelola
oleh pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah tingkat provinsi atau
kabupaten/kota melalui Dinas/Badan Pendapatan Daerah setempat.
Dilansir
dari (Kementerian Keuangan RI, 2017) macam-macam Penerimaan Pajak dalam
perpajakan di Indoensia yakni sebagai berikut :
1. Pajak
Dalam Negeri
2. Pajak
Penghasilan
3. PPH
Migas
4. PPH
Non Migas
5. Pajak
Pertambahan Nilai
6. Pajak
Bumi dan Bangunan
7. BPHTB
8. Cukai
9. Pajak
Perdagangan Internasional
10. Bea
Masuk
11. Bea
Keluar
Pajak
yang berhasil dikumpulkan oleh Dirjen Pajak dijadikan sebagai salah satu unsur
dari pembentukan APBN maupun APBD di negara Indonesia. Jika kita lihat dari
keseluruhan total penerimaan negara, hampir 80% APBN bersumber dari pajak (Republika,
2017). Angka yang cukup fantastis bagi negara Indonesia yang notabene mempunyai
kekayaan alam yang melimpah yang seharusnya ketergantungan penerimaan negara pada
kondisi idealnya ada disana (penerimaan SDA), namun sebaliknya ketergantungan
ini terletak pada penerimaan negara berupa pajak.
Bagaimana
Islam memandang Pajak ?
Menurut
Ali (2018) didalam bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr) atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga
disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para
penarik pajak”. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ (Al-Kharaj), namun
Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah
secara khusus. Para pemungut pajak disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks)
atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar).
Selanjutnya
secara bahasa, pajak adalah suatu pembayaran yang diberikan kepada pemerintah
untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan untuk menyelenggarakan
jasa untuk kepentingan umum. Menurut Imam Al-Ghazali dalam (Fawaz, 2011) pajak
ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada
orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi
(kebutuhan negara serta masyarakat) ketika tidak ada kas didalam baitul mal.
Dari
beberapa pengertian diatas, Anwar (2015)
mengklasifikasikan beberapa jenis pungutan (pajak) didalam islam, yakni sebagai
berikut :
1. Jizyah
Jizyah adalah jenis pajak yang
dibebankan kepada non muslim atas perlindungannya oleh pemerintahan islam
terhadap harta benda, ibadah keagamaan dan untuk bebas dari dinas militer.
2. Kharaj
Al-Kharaj sering disebut sebagai pajak
tanah, yakni pajak yang diperoleh oleh kaum muslim melalui peperangan yang
kemudian dikembalian lalu digarap dan dikelola oleh pemiliknya (non muslim).
Sebagai bentuk imbalan telah mengelolanya ia (non muslim) diwajibkan membayar
pajak kepada pemerintah islam.
3. Ushr
bea cukai
Menurut bahasa, Ushr berarti sepersepuluh, sedangkan
menurut istilah ushr berarti pajak yang dikenakan kepada pedagang asing karena
telah melewati batas negara islam atau melakukan impor barang ke negeri islam
dan pembayarannya dapat berupa uang maupun barang.
Lalu
berkaitan dengan hukum penarikan pajak, Tarmizi (2014) mengatakan bahwa para
ulama fikih telah membahas hukum menarik pajak selain yang ditetapkan sebelumnya
(jizyah, kharaj, dan ushr). Diantara mereka ada yang mengharamkannya secara
mutlak, dan sebagian lainnya ada yang membolehkan dengan bersyarat. Perlu
diketahui tidak ada diantara mereka yang membolehkan mutlak tanpa syarat syarat
khusus yang harus dipenuhi.
Tarmizi
(2014) melanjutkan, beberapa pendapat
ulama yang mengharamkan pajak diantaranya yakni Al-Mawardi, Abu Ya’la.
Dalil yang digunakan untuk
mengharamkannya yakni :
-
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”. ( An Nisaa: 29).
“Sesungguhnya
darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain”.
(HR. bukhari Muslim).
-
Pada dasarnya harta setiap muslim haram
untuk diambil tanpa hak
-
Hadist –Hadits yang mengharamkan mukus :
-
Kewajiban seorang muslim pada hartanya
telah dijelaskan syariat dan pajak tidak termasuk bagian yang dibolehkan.
Bahkan nabi dalam keadaan genting saat akan perang tidak menarik pajak, beliau
lebih memilih cara berhutang kepada shahabat yang kaya dan menarik zakat
sebelum jatuh tempo serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki
kemampuan untuk menghadang musuh.
-
Kaidah fiqih :
Sadd
zariah. Andai hal ini dibuka maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim
untuk mengambil harta umat islam. Dan juga tidak pernah diterapkan para
shahabat nabi.
Tanggapan Dalil :
-
Ayat dan hadits yang mengharamkan mengambil
harta orang lain tanp mempunyai hak tidak menafikkan adanya kewajiban dalam
pemberian harta kepada kerabat dan fakir miskin. Selain itu pajak yang ditarik
untuk kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu
-
Hadits yang mengharamkan mukus, yakni
mukus yang bermakna zalim, sedangkan pajak yang ditarik atas kebutuhan suatu
negara maka bukan suatu kezaliman
-
Dalil sadd zariah bisa diatasi dengan
ketentuan penarikan pajak yang diperbolehkan
-
Adapun pendapat yang mengatakan hal ini
tidak ada dalam masa sahabat maka ditanggapi oleh Syatibi ” “karena
tidak ada kebutuhan di waktu itu, dimana keuangan bait mal cukup membiayai
belanja negara”. Itisham 2/121.
Beberapa Dalil yang
memperbolehkannya yakni :
Ø Ayat-ayat
tentang kewajiban berjihad difa’ dan thalab. Diantaranya firman Allah :
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan)”
Ø Kaidah
“ Almaslahat, yakni :
“Mendatangkan
kemaslahatan dan menolak mudharat”. Andai tidak ada pajak maka negara tidak
bisa berjalan dan mudharat yang terjadi oleh negara tersebut sangat besar, maka
mudharat tersebut ditolak dengan menerapkan mudharat yang lebih kecil yakni
pajak.
Ø Qiyas,
dengan menggunakan analogi kepada kasus dimana wali dari seorang anak kecil
dapat mengambil harta nya untuk kepentingan mereka.
Ø Dalil
Hajah. Meningkatnya kebutuhan negara dari masa ke masa sebagaimna yang
diungkapkan oleh Al Juwaini dan Al Ghazali. Juga dijelaskan dalam kaidah“Suatu
kebutuhan bisa saja disamakan dengan darurat jika dibutuhkan oleh masyarakat
umum”.
Dari
beberapa dalil diatas, Pendapat Yang
Membolehkan Dengan Syarat yakni para Ulama seperti Al-Juwani, Syatibi, para
ulama andalusia, serta para ulama mazhab hanafi dan Ibnu Taimiyyah membolehkan
penarikan dengan syarat :
1.
Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara
yang mendesak seperti menghadapi musuh ketika hendak menyerang. Ulama Ibnu
Abidin berkata “Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk
warganya”
2.
Pemasukan negara dari jizyah , kharaj
dll tidak mencukupi pokok negara atau dengan kata lain kas baitul mall (kas
negara) kosong.
3.
Bermusyawarah dengan ahlu walaqdi (ulama
yang berkompeten dibidangnya).
4.
Ditarik dengan cara yang adil dengan
hanya mewajibkan pajak kepada orang kaya
dan mampu. Al Haitimi mengatakan “Menolak mudharat umat merupakan tanggung
jawab yang mampu, yaitu orang yang memilliki kelebihan harta setelah dikelaurkan
kebutuhan pokoknya”. Tuhfah 9/220
5.
Pendistribusian pajak hanya untuk
kepentingan yang telah ditujukan dan tidak boleh untuk hal yang sifatnya mewah
6.
Masih ada kebutuhan yang mendesak. Jika
kebutuhan telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Sehingga
penarikan pajak bersifat Sementara.
Lantas bagaimana
tinjauan sistem perpajakan di Indonesia saat ini?
Penulis
mempunyai beberapa opini terhadap keberadaan perpajakan di Indonesia, yang akan
dipaparkan didalam beberapa point diantaranya :
1.
Negara Indonesia merupakan negara yang
menggunakan sistem demokrasi sehingga penerapan syariat islam belum
terealisasikan sepenuhnya, sehingga penulis menilai bahwa sistem perpajakan
saat ini masih belum sesuai dengan kaidah hukum islam.
2.
Ketidaksesuaian perpajakan di Indonesia
terletak pada sistemnya dimana pungutan pajak dibebankan kepada barang dagangan
oleh rakyat kecil sehingga secara tidak langsung akan membebani kehidupan
mereka.
3.
Karena penghasilan APBN sebuah negara
80% dari pajak, maka bisa dipastikan bahwa hasil pajak saat ini masihlah belum
digunakan sepenuhnya untuk kebutuhan premier saja melainkan juga kebutuhan
sekunder. Padahal para ulama menetapkan bahwasannya diperbolehkannya pajak
hanya pada kondisi darurat (kebutuhan premier) saja.
4.
Pungutan pajak pada hari ini dilakukan
secara terus menerus dan tidak terbatas. Padahal jikalau kas negara sudah
terpenuhi (artinya tidak ada kebutuhan mendesak) maka pajak tidak boleh lagi di
pungut kepada rakyatnya.
5.
Penulis menilai pungutan berupa pajak di negara Indonesia yang begitu
masif dilakukan tidak sebanding dengan pungutan berupa zakat yang notabene merupakan syariat islam yang harus ditegakkan.
6.
Karena masih terdapat banyak kekurangan
di dalam sistem perpajakan negara Republik Indonesia, maka penulis menyarankan
pemerintah Republik Indonesia meninjau ulang sistem perpajakan agar sesuai
dengan kaidah hukum islam.
7.
Indonesia merupakan negara yang memiliki
kekayaan alam yang melimpah namun
pemerintah belum secara optimal mengelolanya. Hal ini dapat terlihat bagaimana
pihak swasta atau asing masih menguasai aset-aset pertambangan atau alam di
Indoneisa. Padahal pemerintah hal ini sebagai ulil amri mempunyai wewenang mutlak untuk mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan negara
Indonesia. Jikalau kekayaan alam di
Indonesia dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah maka hal tersebut dapat
menjadi sumber pendapatan yang besar bagi negara Indonesia.
Kesimpulan
Meskipun
didalam penetapan hukum perpajakan oleh beberapa ulama masih terdapat
khilafiyah didalamnya, hal yang perlu ditekankan yakni tidak ada ulama yang
membolehkannya secara mutlak tanpa
syarat. Sehingga penulis menilai bahwasannya pemerintah Negara Republik
Indonesia perlu meninjau ulang sistem perpajakan di Indonesia agar sesuai
dengan ketentuan hukum islam.
Indonesia
adalah negara yang mempunyai kekayaan
alam yang melimpah. Namun, nyatanya beberapa aset penting berupa kekayaan alam negara masih dikuasai
asing. Padahal jikalau pemerintah dapat menguasai kekayaan alam tersebut dan
mengeksploitasinya kemudian hasil daripadanya dijadikan pemasukan pada kas
negara Indonesia, maka kekayaan alam di Indonesia bisa menjadi sumber utama
pemasukan kas negara Indonesia.
Daftar Pustaka :
Ali, Abu Ibrahim
Muhammad. (2018), “Pajak Dalam Islam” http://almanhaj.or.id/2437-pajak-dalam-islam.html
(diakses 7 desember 2018)
Anwar, Muhammad. 2015.
Konsep Pajak Dalam Pandangan Intelektual Muslim [Skripsi]. Makasar (ID) :
Universitas Hasanuddin
Detik
Finance 2. (2018), “China akan Kenakan Tarif Impor Kacang hingga Anggur AS”
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3932755/china-akan-kenakan-tarif-impor-kacang-hingga-anggur-as
(diakses 7 desember 2018)
Detik
Finance. (2018), “trump patok tarif impor produk china.” https://finance.detik. com/ berita-ekonomi-bisnis/d-3932512/trump-patok-tarif-impor-produk-china
(diakses 7 desember 2018)
Fawaz, Muhammad Wasitho
Abu. (2018), “HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM, Bagaimana Kaum Muslimin
Menyikapinya?” https://aslibumiayu.net/10410-hukum-pajak-dalam-fiqih-islam-bagaimana-kaum-muslimin-menyikapinya.html
(diakses 7 desember 2018)
Kementerian keuangan
RI, “Nota Keuangan dan APBN 2017”, http://www.kemenkeu.go.id/Data/nota-keuangan-rapbn-tahun-2017
(diakses 7 desember 2018).
Kompas Ekonomi. (2018), “WTO: Perang Dagang AS-China Berdampak
Sangat Buruk” https://ekonomi.kompas.com/ read/ 2018/04/01/120000026/wto--perang-dagang-as-china-berdampak-sangat-buruk (diakses 7 desember 2018)
Kompas
Nasional. (2018), “Wapres: Perang Dagang AS-China Bisa Berimplikasi ke Indonesia”
https://nasional.kompas.com/ read/2018/03/27/19383031/wapres-perang-dagang-as-china-bisa-berimplikasi-ke-indonesia (diakses 7
desember 2018)
Pudyatmoko, Y. Sri.
2009. Pengantar Hukum Pajak. ANDI: Yogyakarta.
Rani,
Rezita., “Macam-Macam Pajak di Indoensia yang Perlu Anda Ketahui”
https://www.online-pajak.com/macam-macam-pajak (diakses 7 desember 2018)
Republika.
(2018), “80 Persen APBN Bersumber dari Pajak”
https://republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/17/04/27/op1s77383-80-persen-apbn-bersumber-dari-pajak
(diakses 7 desember 2018)
Tarmizi, Erwandi.
(2014), “Pembahasan Pajak” https:// http://erwanditarmizi.com/blog/2014/04/19/pembahasan-pajak/ (diakses 8 desember 2018)
0 komentar:
Posting Komentar