ESSENCE AND REALITY OF MUDHARABAH IN INVESTATION, FINANCING, AND
INSURANCE.
Oleh
Rizkiyah Rokhmatul Laili
(17081194022)
Lembaga keuangan syari’ah saat ini
semakin berkembang dengan adanya berbagai produk – produk akad yang tetap
memperhatikan prinsip – prinsip syariah. Lembaga keuangan syariah ini lambat
laun dikenal oleh masyarakat luas melalui prinsip utama dari lembaga keuangan
syariah ini yakni tidak adanya sistem bunga. Sistem bunga dalam dunia islam
memang dilarang atau hukumnya haram. Salah satu hal yang mencirikan dari
lembaga keuangan syraiah ini adalah mengutamakan prinsip kesejahteraan atau
kemaslahatan.
Salah satu upaya dari lembaga
keuangan syaraiah untuk menghindari adanya riba atau bunga dalam transaksi
keuangan yaitu adanya instrument keuangan bagi hasil (Profit Sharing).
Maksud dari bagi hasil ini adalah pembagian keuntungan maupun kerugian
antara dua belah pihak yang bertransaksi sehingga kedua belah pihak akan
mengontrol perkembangan usaha dari salah satu pihak yang menerima modal. Instrument
keuangan ini sering dikenal dengan istilah mudharabah.
Mudharabah merupakan salah satu
elemen penting di dalam sebuah lembaga keuangan syaraiah. Dengan adanya
mudharabah dapat dipertemukannya antara pendanaan dengan keahlian (usaha
produksi) untuk melakukan suatu kerja sama atau bisnis. Mudharabah dianggap
sangat beresiko tinggi terutama karena resiko moral, seleksi yang merugikan,
dan kurangnya keahlian bank dalam penilian proyekserta permasalahan teknis
terkait lainnya (Ayub, 2007).
Penerapan mudharabah dalam lembaga
keuangan syariah masih kurang, dikarenakan terdapat tingginya resiko dalam akad
mudharabah. Mudharabah lebih banyak digunakan dalam bisnis komersil berjangka
pendek sehingga bank dapat mengurangi resiko sampai level terandah dan adanya
jaminan dana akan kembali. (Rivai, Veithzal, Abdul Hadi Sirat, Tatik Mariyanti,
2014). Untuk itu, implementasi mudharabah dalam lembaga keuangan syari’ah masih
minim dan masih kalah dengan akad transaksi lainnya. Misalnya akad murabahah
yang paling sering digandrungi masyarakat dalam bertransaksi di lembaga
keuangan syariah dikarenakan resikonya yang lebih rendah.
Mudharabah merupakan suatu
perjanjian antara dua belah pihak atau lebih untuk melakukan suatu kerja sama
dimana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik modal atau pemberi dana (shahibul
maal) dan satu pihak lainnya bertindak sebagai pengelola usaha (mudharib).
Bagi hasil dari usaha tersebut ditentukan dari nisbah sesuai kesepakatan di
awal (Ismail, 2011). Mudharabah dapat diartikan juga sebagai kemitraan laba
antara modal dan dana (Kettel, 2011).
Diantara rukun mudharabah adalah
pemodal (shahibul mal), pengelola (mudharib), keuntungan, modal
dan ijab qabul. Mudharabah merupakan suatu transaksi yang memiliki resiko yang
tinggi. Karena memiliki resiko yang tinggi, bank konvensional pun tidak pernah
menerapkan transaksi seperti ini. Dalam prosesnya, dibutuhkan modal dan
pengelola serta kemampuan manajemen yang baik dalam menjalankannya (Kettel,
2011).
Akad mudharabah tidak hanya di implementasikan
pada bank syari’ah saja, melainkan di implementasikan juga pada asuransi
syari’ah, pegadaian syari’ah dan pasar modal syari’ah. Berikut adalah
implementasi akad mudharabah dalam beberapa lembaga keuangan syari’ah :
a.
Mudharabah
dalam Bank Syari’ah dan BMT
Di dalam bank syariah dan BMT, akad mudharabah biasanya diterapkan
dalam kegiatan pendanaan dan pembiayaan. Dalam kegiatan pendanaan, mudharabah
digunakan dalam produk tabungan dan deposito. Penyimpan dana atau deposan
bertindak sebagai shahibul maal dan bank syariah bertindak sebagai mudharib.
Dana tersebut digunakan sebagai pembiayaan kepada pihak lain dalam bentuk
transaksi jual beli, sewa – menyewa, dan pembiayaan (Djamil, 2012).
Sedangkan dalam kegiatan pembiayaan, akad mudharabah digunkan sebagai
modal kerja seperti modal perdagangan dan jasa, dan investasi khusus.
Mudharabah ini termasuk dalam mudharabah muqayyadah dimana dana berasal
dari dana khusus dengan penyaluran yang khusus yang syaratnya ditetapkan oleh shahibul
maal (Djamil, 2012).
Jadi,
dalam kegiatan investasi dengan akad mudharabah diterapkan dalam beberapa
produk, yaitu tabungan mudharabah dimana nasabah berlaku sebagai shahibul
maal dan bank berlaku sebagai mudharib, deposito mudharabah, dan
pembiayaan mudharabah dimana nasabah berlaku sebagai mudharib dan bank
berlaku sebagai shahibul maal.
b.
Mudharabah
dalam Asuransi Syari’ah
Penerapan mudharabah dalam asuransi syariah ini terjadi dalam dua
tahapan, tahap pertama adalah masuknya premi dari nasabah kepada perusahaan
asuransi. Tahap kedua adalah penyaluran premi dari nasabah kepada para
pengusaha. Penyaluran prei dari nasabah ke perusahaan asuransi ini dinamakan
dengan musharabah, dimana nasabah berperan sebagai shahibul maal dan perusahaan
asuransi sebagai mudharib. Sementara maal dalam asuransi syariah diwujudkan
dalam bentuk premi yang diberikan kepada perusahaan asuransi (Janwari, 2015)
Pada akhirnya nasabah sebagai shahibul maal akan mendapatkan dana
nya kembali beserta keuntungan dari investasinya. Sedangkan dalam investasi
antara perusahaan syariah dengan pengusaha perusahaan investasi bertindak
sebagai shahibul maal dan pengusaha sebagai mudharib. Keuntungan yang diperoleh
akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
c.
Mudharabah
dalam Reksa Dana Syari’ah
Pada
umumnya reksa dana syari’ah menggunakan akad mudharabah. Manajer investasi dan
Bank Kustodian berperan sebagai mudharib dan investor berperan sebagai shahibul
maal atau pemilik dana. Kepemilikian aset dalam reksa dana dilakukan dengan
penyaringan yang ketat sesuai dengan prinsip syari’ah. Jika reksa dana akan
membeli saham, maka saham tersebut haruslah saham syari’ah. Begitupun juga
dengan obligasi, maka obligasi tersebut juga harus obligasi syari’ah (Aziz,
2010).
Dalam
reksa dana, pemilik dana atau shahibul maal ikut menanggung resiko kerugian
yang dialami oleh manajer investasi atau mudharib. Sementara manajer
investasi atau mudharib tidak ikut menanggung resiko kerugian jika tidak
disebabkan oleh kelalaiannya. Pembagian keuntungan antara shahibul maal
dan mudharib dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Jadi
dalam reksa dana syari’ah adalah reksa dana yang mengalokasikan seluruh dana
nya untuk instrumen – instrumen syariah seperti Jakarta Islamic Indeks (JII),
obligasi, syariah, dan saham syariah lainnya.
d.
Mudharabah
dalam Pasar Modal Syari’ah
Penerapan
akad mudharabah dalam pasar modal syari’ah tidak jauh berbeda dengan reksa dana
syari’ah. Pihak – pihak yang terlibat dalam pasar modal syari’ah adalah emiten,
penjamin emisi efek, manajer investasi, perantara perdagangan efek, dan
investor. Akad mudharabah terjadi pada emiten sebagai mudharib dan
investor sebagai shahibul maal. Namun demikian manajer investasi harus
mengintermediasi akad mudharabah sebagai pengelola bursa efek. Untuk itu, dalam
pasar modal syariah terdapat dua tahapan ; tahap pertama adalah investor dengan
manajer investasi, dan tahap kedua adalah antara manajer investasi dengan
emiten (Janwari, 2015).
Dalam
pelaksanaannya, pasar modal syari’ah tidak terlepas dari tuntunan – tuntunan
syariah sperti, riba, spekulasi, dan penipuan terhadap seluruh mekanisme dalam
pasar modal syariah, teruatama terhadap emiten, transaksi perdagangan dan jenis
efek yang diperdagangkan.
e.
Mudharabah
dalam Obligasi Syari’ah
Penerapan
akad mudharabah dalam obligasi syariah yakni emiten berlaku sebagai mudharib
dan pemilik obligasi berlaku sebagai shahibul maal. Besarnya keuntungan
yang diperoleh antara kedua belah pihak tidak diketahui pada awal akad
(Yuliana, 2010).
Di
Indonesia terdapat obligasi syari’ah yang sangat populer keberadaannya yakni
sukuk ritel. Sukuk ritel merupakan sertifikat kepemilikan sebuah aset
perusahaan yang dikelola dengan prinsip mudharabah dengan menunjuk salah satu
pihak sebagai pengelola aset atau mudharib. Modal perusahaan berasal
dari shahibul maal atau pemilik sertifikat sukuk ritel. Pemegang
sertifikat sukuk ritel mendapatkan kepemilikan aset dan bagian keuntungan yang
telah disepakati bersama.
Demikian
diatas adalah beberapa akad mudharabah pada berbagai lembaga keuangan syari’ah.
Dalam proses perhitungan mudharabah terdapat dua metode, yaitu revenue
sharing dan profit loss sharing. Pada metode revenue sharing
pembagian keuntungan antara kedua belah pihak dihitung dari hasil pendapatan
atau penjualan sebelum dikurang biaya – biaya. Sedangkan profit loss sharing
perhitungannya berasal dari laba / rugi perusahaan. Dalam profit loss sharing
penanggungan kerugian dan resiko dilakukan oleh mudharib dan bank syariah.
Seseorang
akan berpikir dua kali jika menggunakan metode profit loss sharing, dikarenakan
beberapa hal : (Ismail, 2011)
a.
Biaya
administrasi dalam Profit Loss Sharing sama saja dengan bunga karena
digunakan untuk membiayai biaya administrasi dan biaya operasional (bank
syariah)
b.
Pada
masa akhir kontrak, revenue sharing tidak memungut biaya apapun. Namun
dalam profit loss sharing mudharib harus membagi keuntungan kepada kedua
belah pihak.
c.
Metode
profit loss sharing kurang efektif dan praktis karena harus dituntut untuik
membuat laporan laba rugi tiap bulannya.
d.
Besarnya
keuntungan yang diperoleh lebih besar metode revenue sharing daripada profit
loss sharing karena keuntungan sepenuhnya adalah milik mudharib.
Sedangkan profit loss sharing keuntungan harus dikurangi biaya
administrasi dan harus adanya pembagian keuntungan hasil kerja mudharib.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa metode revenue sharing ini sangat cocok dengan ekonomi
modern, karena prosesnya yang mudah, praktis dan efektif. Selain itu dalam
prosesnya tidak ada tuntutan - tuntutan khusus yang harus dilakukan oleh
mudharib. Kecenderungan pilihan ini semakin realistik dengan adanya kesamaan
antara metode profit loss sharing atau mudharabah dengan metode revenue sharing
pada bank konvensional, sebagaimana yang terjadi pada praktik – praktik bank
syari’ah saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ayub, M. (2007). Understanding Islamic Finance : A-Z Keuangan
Islam. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Aziz, Abdul, M. U. (2010) Kapita Selekta Ekonomi Islam
Kontemporer. Bandung: Alfabeta.
Djamil, F. (2012). Penerapan
Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Kuangan
Syari’ah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ismail, (2011). Perbankan
Syari’ah. Jakarta: Kencana.
Janwari, Y (2015). Lembaga
Keuangan Syari’ah. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA
Kettel, B. (2011). Introduction
to Islamic Banking and Finance. United Kingdom: Printhause Northamton.
Rivai, Veithzal, Abdul Hadi Sirat,
Titik Mariyanti, & H. W. (2014). Principle of Islamic Finance (Dasar – Dasar Keuangan Islam). Yogyakarta:
BPFE- Yogayakarta
Yuliana, I. (2010). Investasi Produk
Keuangan Syariah. Malang: UIN-MALIKI PRESS
0 komentar:
Posting Komentar