MUNGKINKAH ZAKAT MENJADI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL DI INDONESIA???
Oleh :
Siska Dwi Puspitasari
17081194014
Untuk yang pertama sebaiknya kita
mengetahui terlebih dahulu mengenai apa sih kebijakan fiskal itu??? Ada
beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan fiskal ini,
diantaranya adalah menurut Wolfson yang dikutip oleh Suparmoko, kebijakan fiskal (fiscal
policy) merupakan tindakan-tindakan pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah,
mobilisasi sumber daya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan
(M.Suparmoko,1997:257). Sedangkan menurut Sadono Sukirno kebijakan fiskal
adalah langkah - langkah pemerintah untuk mangatasi masalah ekonomi, dengan
membuat perubahan dalam sistem pajak atau pembelanjaan (Sadono Sukirno,
2010:170). Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai
langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau
dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan government expenditure)
(Mustafa Edwin, 2007:203).
Dari pendapat beberapa ahli mengenai
kebijakan fiskal dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal merupakan upaya
pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi dari segi penerimaan ataupun
pengeluaran. Kebijakan fiskal ini di lakukan oleh pemerintah melalui Kementrian
Keuangan. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan fiskal ini adalah
menstabilkan perekonomian yang ada dinegara, mencegah timbulnya pengangguran,
mempertahankan kestabilan harga dan mensejahterakan rakyat.
Dalam perkembangannya kebijakan fiskal dibagi menjadi 4 macam
yakni: (Nuruddin Muhammad Ali, 2006:92)
1. Pembiayaan Fungsional (functional finance)
2. Pengelolaan Anggaran (the managed budget approach)
3. Stabilisasi Anggaran Otomatis (stabilizing budget)
4. Anggaran Belanja Seimbang (balanced budget approach)
Kebijakan fiskal membahas mengenai
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, adapun penerimaan pemerintah meliputi
pajak, retribusi, obligasi, ataupun hutang sedangkan untuk pengeluaran ada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan di Pemerintahan
Pusat dan ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APDB) yang dilakukan oleh
masing-masing daerah.
Tahun 2018 merupakan tahun ke-4 dari
pelaksanaan program pembangunan Kabinet Kerja dengan tema kebijakan fiskal
yakni “Pemantapan Pengelolaaan Fiskal untuk Mengakselerasi Pertumbuhan yang
Berkeadilan”. Tiga strategi fiskal pada tahun 2018:
1. Mengoptimalkan pendapatan negara
dengan tetap menjaga investasi;
2. Mendukung program prioritas dengan
cara mengefisiensikan belanja dan peningkatan belanja
produktif;
3. Mendorong pembiayaan yang efisien,
inovatif, dan berkelanjutan
Pokok-Pokok Kebijakan APBN Tahun 2018
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id/media/6108/postur-apbn2018-02.jpg
Dalam gambar diatas sudah tertera
bahwa pendapatan negara sebesar Rp1.894,7 triliun, yang berasal dari
penerimaan pajak sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun. Sedangkan untuk
pengeluaran negara sebesar Rp2.220,7 triliun. Jumlah tersebut meliputi belanja
pemerintah pusat sebesar Rp1.454,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana
desa sebesar Rp766,2 triliun. Alokasi ke daerah ini ditujukan untuk
meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah, meningkatkan kualitas
dan mengurangi ketimpangan layanan publik antardaerah, serta mendukung upaya
percepatan pengentasan kemiskinan di daerah.
Berdasarkan perkiraan pendapatan negara
dan rencana belanja negara, maka defisit anggaran pada APBN tahun 2018
diperkirakan mencapai Rp325,9 triliun (2,19 persen PDB). Besaran ini lebih
rendah dibandingkan APBN tahun 2017 yakni sebesar 2,67% terhadap PDB.
Keseimbangan primer juga turun menjadi negatif Rp87,3 triliun dari tahun 2017
sebesar negatif Rp144,3 triliun. Defisit anggaran tersebut akan ditutup
dengan sumber-sumber pembiayaan anggaran yang mengacu pada kebijakan untuk mengendalikan
rasio utang terhadap PDB dalam batas aman dan efisiensi pembiayaan anggaran
agar tercapai fiscal sustainability. Selain itu, pembiayaan anggaran tahun
2018 juga diarahkan untuk pembiayaan investasi dalam rangka mendukung
pembangunan infrastruktur, perbaikan kualitas pendidikan, dan UMKM.
Kebijakan fiskal dalam islam, telah
dikenal sejak zaman Rasulullah SAW. Kebijakan fiskal dalam islam ini merupakan
kewajiban bagi pemerintah bukan suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi saja
melaikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan menciptakan mekanisme
pendistribusian ekonomi yang adil. Untuk pola anggaran pendapatan negara hampir
sama dengan perekonomian konvensional tapi pengambilan dana didasarkan pada
syariat islam.
Dalam islam, semua pendapatan negara
harus dikumpulkan telebih dahulu sebelum dibelanjakan. Lembaga pengelolaan
keuangan negara baik berupa pendapatan ataupun pengeluaran yaitu Baitul Mal. Di
Baitul Mal pendapatan yang telah diterima akan di olah sesuai dengan
pendistribusiannya. Yang menjadi sumber pendapatan negara dapat dibagi menjadi
3 kelompok yaitu:
1.) Bersumber dari kalangan muslim : zakat, sedekah, wakaf,
2.) Bersumber dari kalangan non-muslim : jizyah, kharaj, dan ushur
3.) Bersumber dari lain-lain : ghanimah, fa’i, uang tebusan,
hadiah, pinjaman pemerintah dan bantuan lainnya.
Untuk pengeluaran negara digunakan untuk
hal tertentu seperti biaya pertahanan, penyaluran zakat kepada pihak yang
berhak menerimanya, pembayaran gaji, upah, utang negara, bantuan untuk musafir,
pembebasan budak, pembayaran tunjangan untuk orang miskin, dan masih banyak
lagi. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Al-Khathab, dapat dibedakan
pendapatan dan pendistribusiannya menjadi 4 bagian, seperti dibawah ini:
Pendapatan Negara
|
Penyaluran
|
Zakat
|
Disalurkan hanya kepada orang-orang yang berhak menerimanya,
seperti 8 ashnaf (orang fakir, miskin, amil zakat, para mualaf, hamba sahaya,
orang yang berhutang, orang yang berjalan dijalan Allah dan orang yang sedang
dalam perjalanan) seperti yang tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 60
|
Ghanimah dan sedekah
|
Digunakan untuk membiayai kesejahteraan fakir miskin dan tidak
membedakan orang muslim atau bukan
|
Kharaj, Fa’i, Jizyah, Ushur dan Sewa Tanah
|
Digunakan untuk membayar dana pensiun, dana bantuan dan membiayai
administrasi dan lain sebagainya
|
Pendapatan lain-lain
|
Disalurkan untuk pemeliharaan anak-anak terlantar, dana sosial,
membayar para pekerja.
|
Sumber : (Adiwarman Karim: 2008, 74)
Apabila
dana dalam Baitul Mal tidak mencukupi untuk membiayai kesejahteraan rakyat
pemerintah berhak menarik pajak (daribah) terhadap kaum Muslimin yang
maempunyai harta lebih. Pengeluaran harus digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Muslim dan pemerintah harus adil dalam
mendistribusikankannya. Dalam QS. Al-Dhariyat (51): 19 disebutkan, “Dan
pada harta-harta mereka ada hak umtuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.” Sedangkan dalam QS. Al-Baqarah (2):
219 Allah berfirman, “Dan mereka bertanya kepadanya apa yang mereka
nafkahkan. Katakanlah “yang lebih dari keperluan” demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir”. Juga, dalam QS. al-Hashr
(59): 7 disebutkan, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Nah, menurut pendapat saya mengenai
pembahasan diatas, kebijakan fiskal yang telah dilakukan Indonesia saat ini
berbeda dengan kebijakn fiskal yang telah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Meskipun tujuan dari kebijakan fiskal tersebut hampir sama yakni untuk
mensejahterakan masyarakat. Pada zaman Rasulullah kebijakan fiskal masih
berdasarkan Al-Qur’an dan hadist dengan cara pendapatanya melalui zakat,
sedekah, wakaf, jizyah, kharaj, dan lain-lain. Untuk
pendistribusiannya juga berbeda, pada zaman dahulu orang-orang Muslim banyak
yang berkecukupan dan untuk mendistribusikannya hanya untuk 8 ashnaf, jadi
jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan pemerintah tidak terlalu banyak.
Untuk di Indonesia sendiri penerimaan pemerintah berfokus pada penerimaan pajak
dan penerimaan bukan pajak. Untuk pengeluaran atau belanja pemerintah di
alokasikan untuk APBN dan APBD.
Untuk saat ini di Indonesia masih belum
bisa menerapkan kebijakan fiskal islam, karena keadaan saat ini berbeda dengan
keadaan pada zaman Rasulullah. Apabila menerapkan kebijakan fiskal tersebut
tidak relevan. Tetapi bisa jadi zakat dapat digunakan sebagai intrumen
kebijakan fiskal, mengingat hampir sebagian jumlah penduduk di Indonesia
menganut agama Islam. Dan sudah ada banyak badan amil zakat yang beroperasi di
Indonesia untuk membantu masyarakat menyalurkan zakatnya. Jadi pendapatan
negara tidak hanya berasal dari pajak, tapi juga dari zakat masyarakat. Tetapi
untuk membuat Baitul Mal di Indonesia masih belum bisa karena badan amil zakat
masih menyebar di beberapa daerah jadi susah untuk mengumpulkan dana. Padahal
apabila ada Baitul Mal, sangat membantu pemerintah untuk menampung dan
menyalurkan zakat kepada orang yang memang berhak mendapatkannya. Dan ditambah
zakat merupakan suatu kewajiban yang harus di bayar sebagai umat muslim.
DAFTAR PUSTAKA
M. Suparmoko. 1997. Keuangan Negara dalam Teori dan Prakti. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, h. 257.
Sukorno, Sadono. 2010. Pengantar Teori Makro Ekonomi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, h. 170
Nasution, Mustafa Edwin. 2003. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta:
kencana, h. 203.
Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Makro Islami. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, h 74
Ali, Nuruddin. 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan
Fiskal. Jakarta : RajaGrafindo Persada, h 92.
Fuzan, M. (2017). Kebijakan Fiskal Dalam Perekonomian Islam Di Masa
Khalifah Umar Bin Al-Khathab. HUMAN FALAH. Vol. 4(1): 55-56.
Rahmawati, L. (2008). Kebijakan Fiskal dalam Islam. Al-Qānūn.
Vol. 11(2) : 437-438.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (KEMENKEU). 2018. APBN2018
[online]. www.kemenkeu.go.id/.
Diakses pada 08 Desember 2018
0 komentar:
Posting Komentar