Zakat, IS-LM dan Kebijakan moneter Syariah
Pembahasan pada kesempatan yang sangat terbatas ini akan terpecah menjadi tiga pembahasan utama yakni pertama berkenaan dengan pengaruh dari zakat terhadap konsumsi nasional, kemudian kedua berkaitan dengan IS-LM dalam ekonomi islam dan yang terakhir yakni berkaitan dengan kebijakan moneter dalam ekonomi islam. Pertama, yakni berkaitan dengan pembahasan mengenai pengaruh dari zakat terhadap konsumsi nasional. Maka dalam hal ini terdapat gambaran sekilas bahwa zakat yang dikeluarkan oleh muzakki yang kemudian disalurkan terhadap delapan ashnaf sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 60 diharapkan dapat menunjang pembangunan ekonomi dari sebuah negara. Secara makro, pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Tatkala semakin bertambah besar pendapatan yang diperoleh, maka konsumsi yang dikeluarkan juga akan bertambah pula. Menurut (Rahardja dalam Nurlita, 2017), pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi masyarakat atau rumah tangga (household consumption). Kemudian, secara garis besar zakat terbagi menjadi dua macam menurut (Daud Ali dalam Sartika, 2008) yakni zakat fitrah dan zakat mal. Lalu, tujuan daripada zakat menurut (Daud Ali dalam Sartika, 2008) adalah sebagai sasaran praktisnya yakni meliputi:
Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup dan penderitaan;
Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnu sabil, dan mustahilainnya.
Membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
Menghilangkan sifat kikir dan loba pemilik harta.
Membersihkan sifat iri dan dengki orang-orang fakir miskin.
Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.
Sarana pemerataan pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada masyarakat.
Zakat tidak termasuk ke dalam sebuah kegiatan yang memiliki tujuan utama dari sisi duniawi semata, seperti yakni distribusi pendapatan dan stabilitas ekonomi akan tetapi zakat juga memiliki dampak terhadap kehidupan di akhirat kelak. Pengaruh zakat terhadap fungsi konsumsi menurut (Metwally dalam Nurlita, 2017) baik APC maupun MPC akan lebih tinggi dalam ekonomi islam daripada dalam ekonomi konvensional serta jurang pemisah investasi pada setiap level untuk menutupi kesenjangan antara pendapatan dengan konsumsi menjadi relatif lebih kecil dalam ekonomi islam dibandingkan ekonomi konvensional. Maka berdasarkan teori tersebut, dari pandangan kami pribadi zakat memang tidak sepenuhnya memiliki tujuan duniawi, akan tetapi disana juga terdapat tujuan akhirat, dikarenakan harta yang dimiliki oleh manusia kelak akan dihisab oleh Allah. Kemudian, masih berkaitan dengan zakat lebih tepatnya yakni pengaruh daripada zakat terhadap konsumsi nasional yang mana memiliki nilai positif, dalam artian bahwa semakin banyak atau mayoritas masyarakat yang tinggal dan menetap di negara Indonesia (kaum muslimin), maka hal tersebut akan memberikan dampak terhadap para mustahiq zakat yang terdiri dari delapan ashnaf akan berdampak terhadap pendapatan nasional, yang mana selanjutnya oleh pihak pemerintah akan dibelanjakan dalam hal ini baik pembelanjaan terkait dengan mustahiq zakat ataupun terkait dengan dukungan terhadap pembangunan infrastruktur.
Selanjutnya, yakni poin kedua yakni berkaitan dengan IS-LM dalam islam (Karim, 2006) yang mana tidak terlepas dari pada teori permintaan dan penawaran yakni sebagaimana telah dibahas terdahulu mengenai hubungan sejajar antara permintaan dan penawaran berkaitan dengan harga. Dalam islam, IS memiliki kaitan dengan pemilik dana atas dana yang dimiliki dan juga minat pelaku bisnis untuk berinvestasi. Sementara itu, LM memiliki kaitan dengan motif seseorang dalam memegang uang, yakni antara digunakan untuk kebutuhan atau untuk berinvestasi. Terjadinya keseimbangan pada pasar barang dan pasar uang tidak terlepas dari tidak dijadikannya uang sebagai komoditas yang diperdagangkan sehingga dalam kurva pasar barang terbentuk garis miring dari kiri atas ke kanan bawah, sementara pada kurva pasar uang terbentuk garis miring yakni dari kanan atas ke kiri bawah. IS-LM dalam islam sendiri berbeda dengan IS-LM yang diterapkan dalam teori konvensional, hal tersebut dikarenakan terkait dengan bunga yang tidak terdapat di teori IS-LM syariah yang mana digantikan posisinya oleh profit sharing. Tanggapan dari kami, bahwasannya pasar barang dan pasar uang yang mana dalam ekonomi makro disimbolkan dengan IS-LM memiliki tingkat stabilitas yang tidak terjaga dalam artian terjadi secara fluktuatif. Maka, dalam IS-LM berdasarkan prinsip islam terdapat sebuah bentuk kepastian berkaitan dengan kondisi daripada pasar barang ataupun pasar uang. Sebagai contohnya, yakni dalam pasar barang dimana investasi di samping dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat juga turut dipengaruhi oleh ratio profit sharing dimana dalam kaitan dengan iklim investasi, maka dapat mendukung terwujudnya kondusifitas dalam kegiatan bisnis. Kemudian, dari sisi LM atau pasar uang dalam islam terwujudnya sebuah profit dari investasi dengan tanpa menjadikan uang sebagai komoditas sebagaimana hal tersebut terjadi dalam LM konvensional. Lalu, terkait dengan titik potong antara IS-LM yang mana menunjukkan bagi hasil (profit sharing) dengan pendapatan nasional. Dalam keterkaitan dengan pasar barang dan pasar uang, teori IS-LM memiliki peranan yang penting, hal tersebut dikarenakan dalam komponen-komponen dari penghitungan IS-LM merupakan indikator yang dapat dijadikan sebagai salah satu tolak ukur dalam menentukan besaran daripada keseimbangan pasar yang mana tidak terlepas dengan permintaan dan penawaran.
Selanjutnya, yakni berkaitan dengan kebijakan moneter dalam ekonomi islam. Kebijakan moneter islam tidak dapat dilepaskan dari peranan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijtihad para ulama’ (ijma’ dan qiyas) sebagai sumber hukum dalam islam yang telah disepakati oleh para ulama’. Kebijakan moneter syariah yakni sebuah kebijakan moneter yang dilaksanakan dalam rangka untuk mencegah ataupun mengatasi terjadinya inflasi yang berada di tahapan kronis atau dalam koridor siaga/berbahaya. (Karim, 2006) Sistem keuangan yang berlaku pada zaman Rasulullah digunakan bimetalic standard yakni berupa emas dan perak (dinar dan dirham) dikarenakan kedua mata uang tersebut merupakan alat pembayaran yang sah dan beredar pada masa tersebut. Meskipun nilai tukar dinar dan dirham stabil pada masa Rasulullah, namun pada beberapa masa setelah sepeninggal beliau terjadi perubaha silih berganti dalam nilai kurs kedua mata uang tersebut. Contohnya, yakni pada masa pemerintahan Umayyah (41/662-132/750) rasio kurs antara dinar-dirham yakni 1:12, sedangkan pada masa Abbasiyah rasio kurs berlaku yakni 1:15. Rasio terenda berada di kisaran yakni 1:35 sampai dengan tingkat rasio 1:50. Moneter islam sendiri dalam ekonomi islam memiliki tiga madzhab yang masing-masing memiliki pemikiran tersendiri terkait dengan manajemen moneter islam dan instrumen moneter islam. Ketiga madzhab tersebut adalah madzhab mayoritas atau bisa dikatakan sebagai pilihan madzhab dalam menerapkan kebijakan moneter syariah. Dalam pandangan madzhab iqtishaduna, yakni menjelaskan tentang sistem yang diterapkan oleh pemerintah berhubungan dengan konsumsi, tabungan dan investasi, serta perdagangan. Lalu, pandangan kedua dari madzhab mainstream menjelaskan tentang larangan menumpuk uang, dues of idle fund (dana tidak produktif) yang harus dirubah menjadi dana produktif dan juga peningkatan investasi akan berdampak terhadap peningkatan AD sehingga tercipta keseimbangan baru. Lalu, pandangan ketiga dari mazhab alternatif menjelaskan mengenai syuratiq process yakni sebuah kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter yang didasarkan kepada hasil musyawarah sebelumnya dengan otoritas sektor riil. Tanggapan dari diri kami terhadap sistem kebijakan moneter islam yakni menyetujui terhadap pelaksaan dari kebijakan tersebut, diantar sebab utamanya yakni dikarenakan dalam instrumen moneter islam disebutkan yakni beberapa instrumen yang mana erat kaitannya dengan pendapatan nasional, seperti disebutkan pada pandangan dari madzhab iqtishaduna. Kemudian juga dari madzhab mainstream yang menolak terhadap pembiaran uang yang menumpuk dan tidak dioptimalisasian untuk keperluan bersama atau memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pada umumnya, serta terjadinya peningkatan dalam investasi akan semakin membuata perekonomian dari sebuah negara menjadi lebih baik dengan tetap diperhatikannya prinsip-prinsip syariah yang mana harus teratur secara nyata di dalam peraturan kerja dari perusahaan tersebut. Berkaitan dengan pandangan dari madzhab alternatif mengenai syuratiq process maka kebijakan tersebut masih dapat diberlakukan karena dalam hal kegiatan tersebut terdapat koordinasi antara pihak otoritas moneter dengan pemerintah secara langsung sehingga diharapkan dapat tercapai tujuan akhir dari rapat tersebut untuk hasil yang lebih baik dan juga dapat menjadi motivasi bagi negara untuk dalam mengalami kemajuan, utamanya dalam hal perekonomian sehingga masyarakat yang tinggal di dalamnya menjadi lebih tertata, kondusif serta dapat dikendalikan sesuai dengan peraturan syariah yang diberlakukan oleh negara tersebut. Untuk penerapan dalam negeri sendiri, kebijakan moneter syariah telah diberlakukan meskipun tidak secara mutlak yakni dikarenakan ada dualisme bank yakni perbankan syariah dan perbankan konvensional. OMS atau Operasi Moneter Syariah (Bank Indonesia, 2015) adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter melalui kegiatan operasi pasar terbuka dan penyediaan standing facilities berdasarkan prinsip syariah. Peraturan berkaitan dengan OMS sendiri yakni terdapat dalam peraturan BI sebagaimana tertuang dalam Peraturan No. 20/5/PBI/2018. Sementara itu, tujuan dari OMS yakni mencapai target operasional pengendalian moneter syariah dalam rangka mendukug pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter Bank Indonesia. Penerapan kebijakan tersebut oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa negara Indonesia meskipun beragam agama hidup di dalamnya tetap terdapat keadilan bagi warga negaranya, sekalipun dalam pemilihan lembaga keuangan yang terpercaya, dengan memiliki kredibilitas dan juga akuntabilitas sehingga dapat menjadi lembaga keuangan yang independen dan terlepas dari berbagai macam bentuk penyelewengan tugas dan kewajiban yang telah diamanahkan oleh pihak manajemen tingkat atas atau pimpinan yang memegang peran utama dalam lembaga tersebut. Kualifikasi daripada pekerja yang akan bekerja di lembaga keuangan perlu untuk diperiksa lebih lanjut, agar untuk ke depannya nanti tidak terjadi penyimpangan di dalam lembaga atau otoritas terkait sehingga memperoleh kepercayaan dari masyarakat pada umumnya. Sehingga diharapkan dengan adanay verifikasi tersebut, maka akan diperoleh sinergitas kebijakan moneter syariah dengan tanggapan atau respon dari pihak masyarakat pada umumnya dan juga dari pihak pemerintah pada khususnya.
Daftar Pustaka
Karim, Abdirrahman. Ekonomi Makro Islami, Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2006. (Versi Cetakan), Diperoleh pada 2 Desember 2018
Bank Indonesia. 2015 (Versi Elektronik) melalui wesite resmi yakni berikut linknya
http://www.bi.go.id/peraturan/moneter/Pages/PBI_200518.aspx dan diperoleh pada
tanggal 13 Desember 2018
Nurlita, Elok., Ekawaty, Marlina. 2017. “Pengaruh Zakat terhadap Konsumsi Rumah Tangga Mustahik (Studi pada Penerima Zakat dari BAZNAS Kota Probolinggo)”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, 3(2): 85-105. (Versi Elektronik). Diperoleh pada tanggal 13 Desember 2018
Sartika, Mila. 2008. “Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap Pemberdayaan Mustahiq”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba, 2(1): 35-55. (Versi Elektronik). Diperoleh pada tanggal 13 Desember 2018
Oleh:
Habib Amrullah
17081194064
0 komentar:
Posting Komentar